Wajar bila si kecil berlaku jahil satu-dua kali. Tetapi kalau keseringan perlu ditangani segera.
Tedy (5) dikenal sebagai sosok jahil di sekolahnya. Pernah suatu ketika dia menyembunyikan tas temannya. Sang teman karuan saja menangis lantaran bekal buatan ibunya berada di dalam tas itu. Di kala lain, Tedy mendorong kawannya yang sedang main ayunan sampai terjatuh. Anehnya, usai berbuat jahil sikapnya biasa-biasa saja seolah tak melakukan kesalahan atau sembunyi entah di mana jika si teman mengalami cedera.
Anak jahil menganggap apa yang diperbuatnya sebagai suatu kesenangan. Dengan kata lain, dia “menikmati” perilaku jahilnya itu. Si jahil sebetulnya juga penasaran ingin tahu apa dan bagaimana reaksi orang atau teman yang dikerjainya. Jadi begitu temannya berurai air mata, dia malah senang bukannya prihatin atau merasa bersalah. Lain hal kalau temannya marah, bisa jadi si jahil lari tunggang-langgang dan bersembunyi. Memang di masa eksplorasi ini, si prasekolah melakukan apa saja yang dianggapnya menantang, menarik dan menyenangkan tanpa menyadari bahwa apa yang dilakukan itu dapat merugikan atau membuat celaka orang lain. Selain itu, sifat agresif dalam dirinya secara tak langsung membuatnya melakukan kejahilan berulang-ulang. Di usia ini boleh dibilang juga energi anak sedang “berlebihan” sehingga ia melakukan kejahilan sebagai salah satu penyalurannya. Di sisi lain, dia ingin eksistensinya diakui lingkungan dengan cara mengganggu orang lain. PEMICU SIKAP JAHIL Kalau ditelusuri lebih lanjut kenapa si kecil berbuat jahil, ada beberapa faktor penyebabnya, yaitu: * Ingin diperhatikan Si prasekolah awalnya merasa kurang diperhatikan. Supaya bisa menarik perhatian orang lain atau orangtuanya, maka dia berperilaku iseng. Misalnya, lantaran ibunya lebih asyik membaca ketimbang mengajak bermain si prasekolah, akhirnya ketika sang ibu lengah, kacamatanya diambil lalu disembunyikan.
* Ingin diterima lingkungan Anak mulai bersosialisasi dengan banyak teman di sekolahnya. Proses penyesuaian diri setiap anak berbeda-beda. Ada yang bisa langsung diterima tapi ada pula yang butuh waktu lebih lama. Nah, lantaran ingin cepat diterima lingkungan sosialnya, si prasekolah berperilaku jahil. Cara seperti ini tentu keliru. Awalnya mungkin dia cuma ingin menggoda untuk menarik perhatian tetapi akhirnya malah mengganggu. * Iri atau cemburu Si prasekolah berbuat jahil bisa jadi karena didorong rasa iri atau cemburu. Contohnya, dia merasa dinomorduakan dibandingkan kakak atau adiknya. Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba si prasekolah mencubit si adik. Contoh lain, ketika temannya memamerkan mainan barunya, dalam benak si prasekolah terbersit untuk berbuat jahil, entah itu merusak mainan tersebut atau bahkan mengambilnya tanpa izin. * Imitasi Sikap jahil juga bisa disebabkan peniruan. Contohnya, di rumah si prasekolah kerap melihat adik kecilnya digelitiki sampai “sakit perut”. Di sekolah, ia meniru berbuat hal serupa pada temannya. Tayangan televisi pun merupakan sumber peniruan yang efektif bagi anak. Di antaranya mengajarkan perbuatan jahil pada anak. MENGALIHKAN AKTIVITAS Perilaku jahil masih dapat dikatakan wajar bila hanya satu dua kali dilakukan. Kalau sudah berulang-ulang bahkan sampai merugikan atau mencelakakan orang lain tentu mesti ditangani. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan orangtua untuk mengatasi perilaku jahil si prasekolah: * Jangan marah Langkah pertama, jaga agar emosi Anda jangan sampai terpancing saat memergoki anak yang bersikap jahil. Lebih baik, cari tahu apa yang mendorongnya berlaku demikian. Ajak ia berbicara empat mata. Hindari menghakimi anak dengan kata-kata, “Dasar anak jahil. Ibu enggak suka kamu berbuat seperti itu!” Bisa jadi anak sedang merasa jenuh dan untuk mengusir kebosanannya ia berusaha menyenangkan diri dengan berbuat jahil. Jika yang dijahili merasa kesal sampai menangis, bahkan cedera, dengan tegas (bukan marah) mintalah anak untuk meminta maaf dan berjanji tidak menjahili temannya lagi. Lalu, pantaulah perilakunya di sekolah maupun di lingkungan rumah. * Beri pengertian dan pemahaman Dengan bahasa yang mudah dipahami, orangtua hendaknya memberi pengertian kepada si prasekolah bahwa perilaku jahil tak baik dilakukan. Kemukakan alasannya, antara lain dapat mencederai teman. Bisa jadi anak mungkin belum tahu tentang konsep rasa sakit, berdarah, atau terluka. Kalau sudah paham, anak tentu akan lebih berhati-hati untuk tidak sembarangan berbuat jahil. Anak juga perlu mengetahui dampak kejahilannya terhadap diri sendiri. Misal, teman-temanya tak mau lagi bermain dengannya. Tanamkan pula, teman bukan untuk disakiti atau dijahili tetapi untuk diajak bekerja sama, berbagi, bersenang-senang dan lainnya. * Lakukan aktivitas lain Energi si prasekolah yang berlebihan terkadang disalurkan dengan cara berbuat jahil. Nah, agar kelebihan energi ini bisa bernilai positif, ajak anak untuk melakukan aktivitas rekreatif yang baik baginya. Umpama, mengajak si kecil bersepeda, bermain sepakbola, atau berenang. Atau daftarkan anak mengikuti kursus yang diminatinya seperti menggambar atau musik. Selain belajar disiplin, anak dapat mengasah keterampilannya. Saat ia tergoda berbuat jahil di rumah, alihkan perhatian anak dengan mengajaknya membereskan kamar atau menyusun mainannya. Dengan begitu, anak sekaligus diajarkan tatatertib. Hindari melakukan aktivitas monoton atau sekadar duduk, misalnya nonton teve karena bersifat pasif dan hanya sedikit manfaat positif yang bisa ia petik dari kegiatan itu. * Beri “hukuman” Kalau perbuatan jahil si prasekolah masih terus dilakukan, jangan ragu untuk menerapkan tindakan tegas berupa “hukuman”. Namun hindari hukuman secara fisik karena justru akan berdampak lebih buruk dan menambah kejahilannya. Lebih baik beri sanksi yang ringan namun tegas. Misalnya, “Kalau kamu masih jahil pada teman-teman sekelasmu, nanti ibu enggak akan belikan kamu buku gambar dan pensil warna.” Dengan begitu, anak sadar, sanksi diberikan lantaran ia telah melakukan suatu kesalahan. Tanpa hukuman, anak akan terus mengulangi perbuatan jahilnya. Hukuman ini sekaligus mengajari anak tentang konsep benar-salah. * Introspeksi diri Satu hal penting, orangtua juga perlu introspeksi. Jangan-jangan anak berbuat jahil karena ayah/ibu juga suka jahil pada orang lain. Selain introspeksi diri, orangtua juga perlu lebih menyelami perasaan anak kemudian berempati. Gali perasaan anak siapa tahu kejahilannya merupakan ungkapan untuk menarik perhatian orangtuanya yang akhir-akhir ini dirasakan kurang memerhatikan kebutuhan dirinya. Dalam hal ini, orangtua memang dituntut untuk peka terhadap kebutuhan dan keinginan anak. Luangkanlah waktu yang cukup dengannya agar mau mengatakan isi hatinya. Kedekatan dan perhatian orangtua membuat anak mau mengubah sikap buruknya tanpa merasa dipaksa. Di sisi lain, anak justru dapat menyalurkan kelebihan energinya melalui cara-cara kreatif yang tidak lagi merugikan orang lain.
|