Wajarnya, anak usia prasekolah tak lagi mengalami kesulitan beradaptasi.
“Anak saya ini kalau di rumah bawel, lo. Kalau dia sudah bertanya, saya dan ayahnya sampai kewalahan. Dia juga enggak bisa diam, lari ke sana ke mari, main sepeda, main mobil. Sudah gitu, jahilnya minta ampun. Biasanya si Mbak yang paling sering menjadi korban kejahilannya. Tapi kalau di tempat baru… ya, begini deh, enggak mau lepas dari saya atau ayahnya,” cerita seorang ibu tanpa bisa menutupi kekecewaannya terhadap sang putra (4) yang dinilainya lambat beradaptasi.
Dapat dipahami jika si ibu merasa kecewa. Sewajarnya memang anak usia prasekolah tak lagi menemui masalah beradaptasi. Apalagi pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan beradaptasi dan kemampuan ini sudah dipelajari sejak bayi. Saat memasuki usia prasekolah, apalagi di usia 4-5 tahun, kemampuan ini sudah bisa dimanfaatkannya dengan baik. Hanya saja, diakui Junetty Halim, M.Psi. Psi., pada anak-anak tertentu, kondisi seperti cerita tadi dapat terjadi. “Contohnya, anak-anak yang mendapatkan pola asuh banyak dilarang, anak yang tak diperkaya pengalamannya dalam bergaul, atau bisa jadi memang dia adalah anak yang kurang aktif.” Menurut psikolog dari pusat konseling dan pelatihan IPEKA di Jakarta Barat ini, orang tua perlu mengamati, apakah di setiap tempat dan lingkungan, anak selalu memerlukan waktu untuk bisa beradaptasi dan tak ada kemajuan dalam hal waktu beradaptasi. Bila jawabannya “ya”, berarti si anak masuk dalam kategori lambat beradaptasi. TIGA PENYEBAB Orang tua wajib mencari tahu, kenapa anak selalu memerlukan waktu lama untuk beradaptasi. Apa yang menjadi penyebabnya dan apa yang menjadi ganjalannya sehingga dia perlu sangat berhati-hati. Jangan-jangan, kata Junetty, si anak memiliki konsep diri yang kurang positif, selalu ragu dan takut karena orang tuanya terlalu ketat mengontrol hidupnya. Menurut Junetty, ada 3 faktor yang berperan penting menyebabkan anak jadi lambat beradaptasi: 1. Dari diri anak itu sendiri Hal ini terkait dengan kematangan kemampuan komunikatif dan bahasa. Anak-anak yang tidak atau kurang menguasai bahasa biasanya lebih sukar untuk menyesuaikan diri.
Bisa juga ini dikarenakan temperamen si anak. Contoh, anak-anak yang memang dari awalnya tergolong slow to adapt child (memerlukan waktu lebih lama untuk mempelajari situasi baru). 2. Gaya pengasuhan Usia 3-5 tahun adalah masa perkembangan pembentukan konsep diri. Hal ini sangat dipengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Jika orang tua “senang” melarang atau memberi batasan-batasan yang sangat kaku, bisa dipastikan si anak lebih takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Tentunya ini bisa memengaruhi pembentukan konsep diri anak, salah satunya kemampuan adaptasi yang jelek. Selain itu, penerapan disiplin model ini juga bisa menjadi bumerang. Misal, orang tua menerapkan disiplin tanpa disertai penjelasan mengapa suatu hukuman diberlakukan, maka biasanya anak jadi tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Nah, karena tidak tahu, biasanya dia jadi ragu dan akhirnya ketika harus bertemu sesuatu yang baru, dia juga bingung karena tak ada patokan atau panduannya. Kondisi ini akan memengaruhi kemampuan anak untuk bisa beradaptasi. 3. Peristiwa traumatik Bisa karena lingkungan sosial yang pernah membuat anak merasa tidak aman dan nyaman, atau ada konflik-konflik tertentu yang membuat dia lebih sulit terbuka. UBAH POLA ASUH Selain ketiga penyebab tadi, ada pula yang beranggapan kondisi lambat beradaptasi diakibatkan faktor keturunan. “Tetapi saya sih melihatnya bukan karena faktor turunannya, melainkan lebih pada role modelnya,” kata Junetty. Maksudnya, si anak mungkin mencontoh orang tuanya yang juga tidak mahir atau sulit beradaptasi. Oleh karena itu, bila ingin anak mudah beradaptasi secara sosial, tak ada cara lain kecuali mengubah pola asuh. “Orang tua harus menghilangkan kebiasaannya yang banyak melarang, menyepelekan pendapat anak, terlalu banyak mengatur, dan selalu membuatkan keputusan untuk anak.” Pasalnya, dengan kebiasaan orang tua yang demikian, anak jadi tak pernah merasakan bagaimana menentukan keputusan untuk dirinya sendiri. Imbasnya, anak jadi sulit beradaptasi karena bingung, takut, dan tak tahu harus bagaimana caranya mulai beradaptasi. Selain mengubah pola asuh, orang tua juga harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi anak karena tahapan belajar masing-masing anak tidaklah sama. Pada anak pemalu dan penakut, misal, orang tua bisa memberikan kesempatan kepada anak berinteraksi dengan banyak manusia. Caranya, undanglah teman-teman si kecil atau saudaranya ke rumah untuk bermain bersama atau mengajak mereka ke tempat lain yang banyak anak sebayanya. “Ini bisa membantu anak mempelajari cara mereka menyesuaikan diri.” Bagaimana bila si kecil menolak cara-cara tersebut? Menurut Junetty, orang tua harus menghargai, bukan malah memaksakan kehendaknya. Selain itu, orang tua juga harus mencari tahu apa yang membuat anaknya takut. Selanjutnya orang tua membantu anak untuk menetralisir ketakutannya itu. Sementara, anak yang lambat beradaptasi lantaran bertemperamen sulit harus sering diajak bergaul dan dibimbing tentang bagaimana cara memulai berinteraksi dengan orang lain. Lama-lama anak akan menemukan sendiri cara yang terbaik untuk dapat beradaptasi. TAK ADA KATA TERLAMBAT Kalau saja sejak berusia batita anak sudah dilatih untuk mengembangkan kemampuannya dalam bersosialisasi, maka saat masuk fase pembentukan konsep diri di usia 3-5 tahun, ia sudah lancar beradaptasi. Walau begitu bukan berarti terlambat jika kita baru mengajarkannya di usia 3-5 tahun. Caranya, tak lain dengan memberikan lingkungan kondusif yang dapat membuat anak berani mencoba sesuatu. Disamping itu, Junetty juga memberikan tip-tip berikut ini: 1. Jadwalkan waktu untuk anak bertemu dan bermain bersama anak-anak lain, juga di tempat yang belum dia temui sebelumnya. 2. Rangsang perilaku prososial anak dengan mengajaknya berpikir apa yang dibutuhkan atau diharapkan teman-temannya kelak. 3. Dorong anak yang penyendiri untuk bergabung dengan anak yang juga penyendiri atau dengan kelompok lain yang lebih kecil. Akan tetapi pada mereka yang memang bertemperamen sulit, menurut Junetty, ketiga langkah tadi kurang tepat diterapkan. Pada anak model ini, yang dapat dilakukan orang tua adalah: 1. Buatkan rutinitas yang jelas. 2. Sediakan waktu untuk berdiskusi dengan anak bila ada rencana perubahan rutinitas. 3. Beri peringatan pada anak beberapa saat sebelum transisi dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Dengan demikian diharapkan anak jauh lebih siap untuk melakukan penyesuain diri dan beradaptasi. 4. Beri cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan satu perubahan sebelum memberikan perubahan berikutnya. 5. Jaga agar tidak terjadi terlalu banyak perubahan, apalagi yang mendadak. Jika semua langkah tersebut sudah dilakukan dengan baik, terakhir adalah berdoa, dengan harapan anak bisa mengalami kemajuan untuk masalah adaptasi sosialnya. Namun harus diingat, mengubah hal ini tidak semudah kita mengajari anak prasekolah bernyanyi, lo. Jadi orang tua harus ekstra sabar dan selalu konsisten melakukan pengondisian-pengondisian tersebut. KEMAMPUAN ADAPTASI YANG HARUS DIKUASAI Di usia 3-5 tahun, terutama usia 3-4 tahun, anak mulai mengenal teman lalu berkembang dengan menjalin hubungan pertemanan. Akan tetapi lingkupnya masih terbatas, yaitu hanya pada mereka yang memiliki kesamaan tertentu. Misal, rumahnya masih di satu lingkungan, sama-sama satu sekolah, atau mempunyai mainan yang sama. Jadi, tandas Junetty, untuk anak usia prasekolah cukup sampai pada tahapan bisa beradaptasi tanpa ada hambatan. “Jika modal dasarnya ini sudah dimiliki, semakin lama pasti akan berkembang.” Namun jika belum, kita pun tidak dianjurkan mendesak anak untuk cepat beradaptasi sementara ia belum siap. Cara ini justru akan menghambat langkah berikutnya. Lain cerita bila memang kemampuan adaptasi anak sudah baik, semisal tidak mengkeret di belakang orang tuanya, mau memberikan respons bila disapa lingkungan, dan kemampuan adaptasinya terus meningkat dengan ciri selalu ingin mencoba dan ingin tahu, maka si anak tak butuh waktu lama-lama lagi untuk beradaptasi. SI PENGAMAT LAMBAT BERADAPTASI? Ada kan anak-anak yang cenderung mengamati terlebih dahulu, baru kemudian memberikan respons terhadap lingkungan barunya? Nah, anak-anak tipe pengamat ini, menurut Junetty, tidak termasuk yang lambat beradaptasi. Tetapi lebih pada gaya si anak dalam proses beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Jadi, sejauh anak pada akhirnya bisa melakukan interaksi dan ada peningkatan tanpa harus didorong-dorong atau butuh beberapa hari untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan, “Statusnya masih bisa dibilang oke untuk anak prasekolah dalam beradaptasi.” Ada juga anak yang adaptasinya perlu dipancing terlebih dahulu untuk bisa membaur dengan lingkungan. Jika tak ada orang lain yang mengajaknya bergabung, sampai kapan pun si anak akan lebih memilih menarik diri dari lingkungan. “Yang ini pun lebih cenderung ke gaya atau karena si anak tak tahu cara dan bagaimana memulainya,” kata Junetty.
Jadi, kemungkinannya si anak ingin bisa bergaul dengan lingkungan, akan tetapi tidak tahu cara memulainya. Untuk itu, anjur Junetty, orang tua harus sesering mungkin membawa anak tipe ini ke tempat-tempat baru. ENAKNYA BISA BERADAPTASI! Kata Junetty, banyak manfaat akan diperoleh anak dari kemampuannya dalam beradaptasi. Di antaranya: * Semakin mampu beradaptasi berarti anak semakin cepat beradaptasi. Setelah itu pastinya anak mampu berinteraksi, membangun interaksi yang baik dengan teman-temannya di sekolah. Hal ini sangat berpengaruh pada pembentukan self-esteem-nya. * Anak akan lebih merasa “pede” karena merasa diterima oleh teman-temannya, merasa punya teman yang bisa berbagi. * Dalam proses pembelajaran di sekolah, anak bisa mengembangkan perilaku yang positif, bisa lebih nyaman bersekolah dan menikmati sekolahnya. Dengan begitu, anak dapat mengeluarkan kemampuannya secara optimal. * Kemampuan kompetensinya akan lebih tinggi dibandingkan anak yang sulit beradaptasi.
|