Bukan hanya wajar dilakukan anak prasekolah, tetapi juga merupakan ciri cerdas dan kreatif.

Heida mengeluh mulai kesulitan menghadapi tingkah Vicky, putranya yang berusia 4 tahun. “Sekarang Vicky selalu bawa maunya sendiri, enggak bisa dibilangin, sepertinya dia sudah paling tahu saja.” Malah, lanjutnya, bila ditegur atau dimintai tolong, Vicky suka menjawab, “Lagi sibuk nih. Adik aja deh.” Atau saat diberi tahu, “Naiknya pakai dua tangan, nanti jatuh.” Eh dia dengan enteng menjawab, “Enggak apa kok pakai satu tangan. Nih bisa!”

Mungkin Anda pun mengalaminya. Si kecil yang berusia 3-5 tahun selalu saja tak sejalan atau beda pendapat dengan kita. Tetapi tak perlu gusar, karena perilaku si kecil yang demikian ini wajar-wajar saja, kok. Apalagi, seperti dikatakan M. Fakhrurrozi, M.Si., anak usia prasekolah tengah berada dalam fase membangkang.

“Pembangkangan yang dilakukan anak usia 1-3 tahun berbeda dengan anak usia 3-5 tahun,” kata Ozi, sapaan akrab psikolog ini. Pada batita, lanjut dosen di Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ini, pembangkangan itu lebih dikarenakan si anak berada dalam fase egosentris. Sedangkan pada si prasekolah, pembangkangan yang dilakukannya sudah dengan alasan.

CIRI CERDAS & KREATIF

Jadi, perilaku membangkang pada si prasekolah bukan merupakan suatu penolakan atau tidak mau mengikuti saran dan permintaan orangtua, tetapi lebih karena dia punya cara lain untuk melakukan sesuatu. “Tentu si anak punya alasan, mengapa dia membangkang seperti itu,” tandas Ozi.

Contoh, orangtua menginginkan anaknya mandi dulu baru bermain, tetapi si anak justru ingin main dulu baru mandi. Adanya keinginan yang “berseberangan” ini, menurut Ozi, dikarenakan si prasekolah ingin menunjukkan kalau dirinya sudah mandiri. Dia pun sedang belajar mengemukakan ide, “Bukannya lebih enak mandi setelah main? Kan, setelah itu bisa langsung tidur.” Atau, “Coba kalau mandi dulu baru main, setelah main pasti kotor dan disuruh mandi lagi.”

Yang menarik, sekalipun “bibit-bibit” pembangkangan ada pada semua anak, tetapi jauh lebih sering dilakukan oleh anak laki-laki. “Mungkin karena laki-laki cenderung diperbolehkan oleh lingkungan untuk melakukan ini. ‘Wajar, namanya juga anak lelaki,’ misalnya.”

Selain itu, perilaku membangkang ini juga cenderung terjadi pada anak-anak cerdas dan kreatif. Mereka adalah anak-anak yang kemampuan bahasanya baik, kemampuan kognitifnya cemerlang, kritis, pemberani, sadar dan tahu akan apa yang dilakukannya, senang mencoba hal-hal baru, dan selalu belajar mengenai apa yang dia alami.

AJAK DISKUSI

Karena itulah, menghadapi si prasekolah yang “hobi” membangkang, Ozi menganjurkan orangtua agar tenang dan sabar. Orangtua juga harus sadar betul bahwa anaknya ini pintar, hanya saja ada beberapa aspek kepribadiannya yang mungkin tak bisa dikendalikan semisal terlalu percaya diri dan keterampilan sosialnya yang belum bagus.

Kata Ozi, orangtua harus ekstra hati-hati dalam mendampingi si prasekolah yang selalu punya pendapat sendiri. “Orangtua harus tetap memberikan aneka masukan untuk perkembangan kognitif si anak, sambil terus membangun kepercayaan dirinya dan meningkatkan keterampilan sosialnya agar lebih baik.”

Inilah beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua ketika si prasekolah menunjukkan pendapat yang berbeda:

* Ajak berdiskusi.

Contoh, si prasekolah meno-lak memakai kaus kaki. Tanyakan padanya, apa alasannya. Misal, “Enakan enggak pakai kaus kaki, jadi lebih cepat pakai sepatunya.” Kemudian ajak ia berdiskusi, “Kalau tidak pakai kaus kaki, nanti kakimu bisa lecet.” Bisa juga kita katakan, “Kalau sepatumu seperti sepatu Bunda, memang bagus tidak pakai kaus kaki. Tetapi sepatumu, kan, sepatu olahraga. Kelihatannya enggak asyik deh kalau enggak pakai kaus kaki.”

* Hentikan jika pendapat dan keinginannya berbahaya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Tentunya orangtua harus mengemukakan apa alasan yang menjadikan pendapat si anak yang berbeda itu tidak baik, tidak benar, atau membaha-yakan. Sampaikan pada anak saat itu juga dengan bahasa yang sederhana, sehingga anak paham dan mengerti. Contoh, ketika si kecil berkata, “Turun tangganya enakan sambil meluncur lewat pegangan, asyik dan cepat.” Cegahlah, “Eit, ini bukan seluncuran tetapi pegangan untuk tangan. Kalau kamu meluncur lewat pegangan ini, nanti kamu bisa jatuh dan sakit.” Kalaupun terpaksa, orang-tua boleh saja mengabulkan tapi dengan catatan, “Oke, tapi Ayah akan pegangi kamu,” misalnya.

* Orangtua harus membuka diri alias mau menerima jika anak dapat memberikan alasan yang masuk akal atas pendapat atau keinginannya itu.

Untuk itu, anggapan bahwa orangtua selalu dalam posisi benar, menang, dan harus dituruti oleh anak sudah saatnya mesti dihilangkan.

Satu hal yang penting, jangan sekali-kali memaksa anak untuk sepaham dengan orangtua. Siapa tahu dari hasil diskusi bersama, orangtua dan anak bisa menemukan jawaban yang lebih baik lagi.

HILANG DENGAN SENDIRINYA

Dari penelitian terhadap 71 anak usia 3-5 tahun di keluarga dan yayasan selama 71 hari, beber Ozi, sebanyak 90% melakukan pembangkangan dan mengutarakan pendapat yang berbeda kepada orang lain dengan usia di atasnya daripada kepada teman sebaya atau usia di bawahnya.

Satu hal, katanya, berbeda pendapat atau membangkang sangat berbeda dari agresi. “Agresi kan, bertujuan menyakiti objek atau individu lain tetapi kalau pembangkangan tidak.” Jadi, jangan disamaratakan.

CENDERUNG PADA ORANG YANG LEBIH TUA

Dari penelitian terhadap 71 anak usia 3-5 tahun di keluarga dan yayasan selama 71 hari, beber Ozi, sebanyak 90% melakukan pembangkangan dan mengutarakan pendapat yang berbeda kepada orang lain dengan usia di atasnya daripada kepada teman sebaya atau usia di bawahnya.

Satu hal, katanya, berbeda pendapat atau membangkang sangat berbeda dari agresi. “Agresi kan, bertujuan menyakiti objek atau individu lain tetapi kalau pembangkangan tidak.” Jadi, jangan disamaratakan.

 

Tinggalkan Balasan