Kenapa LENTERAHATI Islamic Boarding School Tidak Menggunakan Rangking Dalam Raport Kenaikan Kelas?

“`Mohon disematkan dibaca secara tuntas walupun panjang, tetapi ini penting bagi walisantri“`

*Satu pertanyaan yang kerapkali diajukan orangtua kepada guru walikelas, pada momen pembagian raport anaknya adalah pertanyaan mengenai ranking*. _*Adanya kebijakan sekolah untuk tidak lagi mencantumkan ranking di raport, tidak jarang memancing pendapat-pendapat yang pro dan kontra.

*_Dari pendapat-pendapat yang pro dan kontra tersebut, kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya pada intinya mengarah pada pertanyaan “perlukah pemberian ranking di sekolah?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut secara mendalam, perlu kita pahami terlebih dahulu hakikat tujuan belajar yang sesungguhnya, karena tujuan pemberian ranking seharusnya sejalan dengan tujuan belajar yang akan dicapai siswa.

Tujuan belajar pada hakikatnya adalah menguasai ilmu/ materi /ketrampilan dan mengembangkan minat dan bakat siswa. Seberapa jauh tujuan belajar tersebut dapat dicapai oleh seorang siswa, idealnya harus dapat dimonitor melalui data kuantitatif dan kualitatif yang tertera di raport atau buku laporan hasil belajar siswa. Data kuantitatif yang tertera di raport merupakan data berupa angka yang saat ini melalui kurikulum 2013 di modifikasi menjafi nilai A, B, C dan D yang mencerminkan seberapa besar nilai prestasi siswa dalam menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Sedangkan data kualitatif, merupakan data keterangan yang menjelaskan bagaimana sikap dan cara kerja siswa dalam mencapai prestasinya tersebut.

Ranking, sebagai salah satu bentuk data kuantitatif yang tertera di raport, dapat menunjukkan posisi atau urutan prestasi seorang siswa dilihat dari prestasi seluruh siswa dalam kelas atau sekolahnya. Semakin tinggi nilai ranking yang diperoleh, idealnya dapat mencerminkan semakin tinggi pula tingkat pencapaian tujuan belajarnya *yang hanya dilihat dari nilai akademiknya saja*. Atau sebaliknya, semakin rendah nilai ranking berarti semakin rendah pula tingkat pencapaian tujuan belajarnya atau sering disalah artikan *anak yang tidak cerdas*. Namun pada kenyataannya, nilai ranking yang ada, tidak selamanya bisa menunjukkan secara akurat seberapa jauh tingkat pencapaian tujuan belajar siswa. Hal ini bisa terjadi misalnya karena adanya kecurangan yang dilakukan siswa pada saat pengambilan nilai dilakukan ( misal : siswa menyontek), ketidakvalidan alat tes (misal : soal-soal terlalu mudah atau tidak bisa mengukur tingkat penguasaan materi) atau adanya faktor subjektivitas guru terhadap penilaian yang diberikan kepada masing-masing siswa (misal: “murah” dalam memberi nilai kepada siswa yang satu, tapi ‘mahal’ memberi nilai pada siswa yang lain). Bila hal ini yang terjadi maka pemberian ranking tidak akan bermanfaat dalam membuat pemetaan tentang prestasi akademik siswa atau pemetaan tentang sejauhmana keberhasilan mencapai tujuan belajar.

*Penekanan pada prestasi akademik semata pada saat penentuan ranking yang selama ini dilakukan, juga seringkali dianggap sebagai segi negatif dari adanya pemberian ranking. Karena hal ini dianggap mengabaikan prestasi-prestasi non akademik yang dimiliki siswa. Anak yang memiliki ranking tinggi atau dianggap pintar, bisa saja sebenarnya memiliki banyak kelemahan dalam bidang non akademis. Atau sebaliknya, seorang anak yang memiliki ranking rendah atau dianggap tidak pintar, belum tentu seorang tidak memiliki keunggulan atau kelebihan.

Selain itu, bila kita lihat praktek atau realitas di lapangan, ternyata sangat sulit untuk membuat perbandingan secara kuantitatif antara satu siswa dengan siswa lainnya yang mencakup keseluruhan aspek potensi dan kemampuan anak yang sesungguhnya. Misalnya Anak yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang matematika akan sangat sulit dibandingkan kemampuannya dengan anak-anak yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal olahraga atau seni. Padahal dalam proses pembuatan ranking, semua bidang kemampuan akademik dinilai setara satu sama lainnya yang kemudian agar mendapatkan rangking nilai tadi di jumlahkah dan di rangking dar 1 sampai jumlah terakhir siswa.

Segi negatif lain dari pemberian ranking adalah adanya kecenderungan untuk memberi label pada anak. Pada anak yang memperoleh nilai ranking yang baik (misalnya 5 atau 10 besar), maka secara tidak langsung akan di”cap” pintar sehingga bukan tidak mungkin akan membuat anak menjadi sombong atau *“overconfidence”*. Sebaliknya anak yang mendapat nilai ranking rendah , bukan tidak mungkin akan menjadi anak yang *rendah diri*.

Selain itu, pemberian ranking juga bisa membuat sebagian anak menjadi *_merasa tertekan atau merasa stress,_* karena ia merasa kalah bersaing dengan teman-temannya. Dengan adanya perasaan stress ini, bukan tidak mungkin justru membuatnya semakin tidak bersemangat untuk belajar dan membuatnya semakin mendapatkan nilai ranking yang rendah, demikian seterusnya sehingga konsep dirinya menjadi semakin buruk.

Walaupun demikian, pemberian ranking sebenarnya juga masih memiliki manfaat, misalnya bagi siswa dengan gaya belajar tertentu (menyukai tantangan), maka dengan adanya ranking bisa memacu semangat belajarnya. Selain itu, dengan adanya ranking, guru dapat lebih mudah untuk mengelompokkan siswa yang pintar dan kurang pintar sehingga kelas menjadi lebih homogen dan memudahkan guru untuk menyesuaikan metode pengajarannya dengan daya tangkap kelompok siswa tersebut.

Melihat segi negatif yang lebih banyak ketimbang segi positif dari pemberian ranking di raport siswa, seperti diuraikan di atas, maka kebijakan LENTERAHATI Islamic Boarding School Auntuk tidak mencantumkan ranking di raport tampaknya dapat menjadi alternatif yang kami anggap bijaksana dan menghargai semua potemsi anak. Hal ini mengingat bahwa tujuan belajar yang sesungguhnya adalah bagaimana anak bisa menguasai ilmu atau ketrampilan yang diajarkan kepadanya, bukan untuk membandingkannya dengan anak lain, yang bisa mengarah pada terabaikannya potensi dan kemampuan khas yang dimiliki masing-masing anak.

*Maka mulai tahun ini, setiap akhirussanah bersamaan dengan inagunrasi semua santri akan kami berikan penghargaan sesuai dengan potensi minat dan bakat masing-masing. Semua siswa akan dipanggil kedepan untuk menerima sertifikat penghargaan, dengan sistem ini kami yakin akan menumbuhkan motivasi bagi setiap santri Lenterahati Islamic Boarding School untuk terus berkembang sesuai potensi yang dimiliki dan itu akan menjadi bekal mereka berkembang secara percaya diri kelak ketika dewasa*

*_Untuk santri SMP, prosesi ini sudah kami lakukan mulai penutupan matrikulasi penerimaan siswa baru Ramadhan yang lalu, dan ini membangkitkan motivasi santri untuk mengembangkan potensinya tanpa harus iri pada potensi temannya yang belum tentu ia miliki_*

“`Semoga kebijakan ini bisa dipahami oleh semua walisantri sehingga tidak menekankan anak untuk cerdas secara akademis saja, karena kecerdasan akademis tidak menjamin anak sukses dikemudian hari, justru anak-anak yang punya potensi kecerdasan sosial, emosional, enterphener, leadership dibarengi dengan religiuslah yang kelak akan menguasai peradapan walaupun akademik tetap penting tetapi bukan satu-satunya ukuran keberhasilan“`

*Abah Muazar Habibi*

Pengasuh Pesantren LENTERAHATI Islamic Boarding School Nusa Tenggara Barat.

*Kenapa LENTERAHATI Islamic Boarding School Tidak Menggunakan Rangking Dalam Raport Kenaikan Kelas?*

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2255503617859523&id=100001997202810

Tinggalkan Balasan