Meninjau Pasal 480 Rancangan KUHP

Oleh : MA. Muazar Habibi

Rezim ini membuat rancangan KUHP yang salah satu pasalnya yaitu tentang Pemerkosaan Pada Istri yang akan dihukum 12 tahun (pasal 480 rancangan KUHP)

Rancangan KUHP ini serat sekali dengan pasal-pasal yang bertentangan dengan norma, lucu, pasal karet dan menjurus ke arah otoriterisme pemerintah pada rakyatnya.

Saya tidak membahas banyak pasal-pasal yang kontraversial, tetapi saya hanya membahasl pasal 480 yang isinya adalah antara lain, jika suami diindikasikan “memperkosa istrinya maka hukumannya adalah 12 tahun”.

Saya baru mendengar istilah suami memperkosa istrinya, jika ada istri yang merasa diperkosa oleh suaminya. Lantas untuk apa menikah?

Islam, jauh-jauh hari mengatur tentang hukum seorang istri ketika diajak berhubungan badan dan dengan detail Islam telah mengatur bahkan memberikan arahan kepada istri dan suami agar hubungan suami istri yang menjadi kebutuhan utama keluarga adakah cermin kasih sayang.

Lantas jika ada istri yang akan melaporkan suaminya karena dianggap telah memperkosa dirinya! Tentu dia bukan istri yang baik, ia adalah istri dholim dan durhaka pada suami.

Ya memang pada dasarnya hubungan suami istri dalam keluarga harus dilakukan secara membahagiakan, namun karena masyarakat Indonesia tidak semua paham makna dan tatacara menikmati hubungan suami istri yang sama-sama sampai puncak kenikmatan maka kadang kala suami terkesan memakasa istri dan istri merasa terpakasa melayani suami.

Lantas bagaimana Islam memberikan gambarab jika istri menolak ajakan suami berhubungan intim?

Dalam Agama Islam berhubungan intim alias berhubungan suami istri dipandang sebagai bagian dari ibadah.

Berhubungan suami istri dalam kehidupan rumah tangga adalah hal yang lumrah.

Nah bagaimana hukumnya, bila istri menolak ajakan suami untuk berhubungan intim, atau sebaliknya, sang suami yang tidak mau berhubungan intim dengan istrinya.

Nabi ﷺ bersabda :

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya (untuk digauli) lalu sang istri tidak memenuhi ajakannya, lantas sang suami tidur dalam kondisi marah terhadap istrinya maka malaikat melaknat sang istri hingga subuh” (HR Al-Bukhari no 3237 dan Muslim no 1436)

Dengan hadis itu, dapat disimpulkan bahwa, menolak ajakan suami untuk berhubungan intim adalah dosa besar.

Sementara itu dikutip dari penjelasan DR Firanda Andirja LC MA, dari laman firanda.com disebutkan juga bahwa,

Nabi ﷺ juga bersabda :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا، فَتَأْبَى عَلَيْهِ، إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya untuk digauli lantas sang istri enggan, kecuali Yang di langit marah kepada sang istri hingga suaminya ridho kepadanya” (HR Muslim no 1436)

Nabi ﷺ juga bersabda :

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ، هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang wanita tidur meninggalkan tempat tidur suaminya (yaitu tidak menemani suaminya) maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (HR Muslim no 1436)

Dalam riwayat yang lain حَتَّى تَرْجِعَ “malaikat melaknatnya hingga ia kembali (kepada suaminya).”

Ada beberapa perkara yang harus diperhatikan berkaitan dengan hadits ini :

Pertama : Maksud dari hadits ini adalah wanita terlaknat jika ia menolak tanpa udzur syarí, bukan semerta-merta menolak langsung dilaknat oleh para malaikat. Diantara udzur syarí :

Wanita dalam kondisi sakit, jika berhubungan intim dengan suaminya maka akan ia kesakitan atau semakin parah sakitnya.

Wanita dalam kondisi haid, sehingga tidak boleh digauli di bagian kemaluannya. Akan tetapi haidnya sang wanita bukan udzur untuk melayani suami dari sisi yang lain, karena sang suami berhak untuk menikmati tubuh istrinya pada bagian yang lain.

Wanita dalam kondisi sangat sumpek atau stress yang dimana ia sama sekali tidak bisa melayani suaminya dalam kondisi demikian. Yang hal ini bisa saja memberikan kemudhorotan kepadanya jika dipaksa untuk berhubungan intim.

Jika ternyata sang suami tidak menunaikan kewajibannya, seperti tidak menafkahi istrinya (sebagaimana telah lalu pada fatwa no. 1)

Jika suaminya ternyata tidak sholat atau terjerumus dalam dosa-dosa besar, maka boleh bagi sang wanita untuk mendiamkan suaminya, sebagaimana Nabi ﷺ memerintahkan istri Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu dan juga istri-istri kedua sahabat yang lain untuk menghajr (meninggalkan) bertiga tatkala Ka’ab bin Malik dan kedua sabahabtnya bersalah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk.

Ibnu Taimiyyah berkata :

وَتَهْجُرُ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا فِي الْمَضْجَعِ لِحَقِّ اللَّهِ بِدَلِيلِ قِصَّةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا وَيَنْبَغِي أَنْ تَمْلِكَ النَّفَقَةَ فِي هَذِهِ الْحَالِ أَنَّ الْمَنْعَ مِنْهُ كَمَا لَوْ امْتَنَعَ عَنْ أَدَاءِ الصَّدَاقِ

Dan seorang wanita memboikot (mendiamkan) suaminya di tempat tidur karena hak Allah, dengan dalil kisah 3 orang yang tidak ikut perang Tabuk. Dan tetap saja seharusnya sang wanita mendapatkan nafkah (dari suaminya) dalam kondisi demikian karena kesalahan dari sang suami, sebagaimana jika sang suami tidak mau menyerahkan mahar” (Al-Fataawa al-Kubro 5/481 dan Al-Mustadrok ála Majmuu’ al-Fataawa 4/221)

Jika ternyata sang suami yang terlebih dahulu menghajr (memboikot) sang istri, setelah itu ia mengajak sang istri untuk berhubungan intim namun sang istri menolak.Ibnu Hajar berkata :

وَلَا يَتَّجِهُ عَلَيْهَا اللَّوْمُ إِلَّا إِذَا بَدَأَتْ هِيَ بِالْهَجْرِ فَغَضِبَ هُوَ لِذَلِكَ أَوْ هَجَرَهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَلَمْ تَسْتَنْصِلْ مِنْ ذَنْبِهَا وَهَجَرَتْهُ أَمَّا لَوْ بَدَا هُوَ بِهَجْرِهَا ظَالِمًا لَهَا فَلَا

“Dan tidaklah celaan (laknat malaikat) tertuju kepada sang wanita kecuali jika sang wanitalah yang memulai mendiamkan sang suami sehingga suaminyapun marah karena itu. Atau kecuali jika sang suami menghajr (mendiamkan) sang istri karena istrinya yang dzalim/bersalah dan ia tidak berhenti dari kesalahannya tersebut lalu sang wanita mendiamkan suaminya. Adapun jika sang suami yang mulai mendiamkan sang istri padahal sang suami yang salah maka sang istri tidak tercela (tidak dilaknat malaikat)” (Fathul Baari 9/294)

Jika sang istri sedang menjalankan puasa Qodo’ terlebih lagi jika menjelang bulan Ramadhan berikutnya.
Adapun hanya sekedar alasan “lagi tidak berhasrat” maka ini bukanlah udzur syarí bagi sang wanita. Jika sang suami memintanya untuk berhubungan intim maka wajib baginya untuk mentaatinya. Tentunya suami yang baik berusaha untuk menimbulkan hasrat sang istri sebelum menjimaknya.

Kedua : Kewajiban untuk memenuhi ajakan berhubungan intim bukan hanya berlaku kepada istri, akan tetapi berlaku juga kepada suami. Ibnu Taimiyyah berkata ;

وَيَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ وَطْءُ امْرَأَتِهِ بِقَدْرِ كِفَايَتِهَا مَا لَمْ يُنْهِكْ بَدَنَهُ أَوْ تَشْغَلْهُ عَنْ مَعِيشَتِهِ

“Dan wajib bagi seorang suami untuk menggauli istrinya sesuai kadar yang mencukupinya selama sang suami tidak memayahkan tubuhnya dan tidak menyibukan dia dari mencari nafkahnya (Al-Fataawaa al-Kubro 5/481)

Beliau juga menjelaskan bahwa ukuran kadar kapan seorang suami harus menjimak istrinya kembali kepada úrf (tradisi/kebiasaan yang berlaku di masyarakat), dan ini sama halnya dengan kadar nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri mempunyai hak yang sama/seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS Al-Baqoroh : 228)

Dan berdasarkan hadits Nabi ﷺ kepada Hindun bintu Útbah :

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ، بِالْمَعْرُوفِ

“Ambilah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR Al-Bukhari no 4364)

Sehingga wajib juga bagi suami untuk menggauli istri dengan kadar yang mencukupi. Dan beliau membantah pendapat ulama yang menyatakan bahwa cukup sekali menggauli istri dalam 4 bulan. Dan jika terjadi perselisihan dalam menenutkan kadar tersebut maka dikembalikan kepada hakim. (lihat Majmuu’Al-Fataawaa 29/174)

Ketiga : Para suami juga punya tanggung jawab yang besar dalam mengurus istri dan memenuhi kebutuhannya. Jika ia tidak menunaikan tanggung jawabnya dengan baik maka ia bukan hanya dilaknat oleh malaikat, bahkan ia masuk neraka.

Nabi ﷺ bersabda

مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ

“Tidaklah seorang hamba diserahkan kepadanya urusan raíyyah (yaitu yang harus diurus) lalu ia tidak mengurusnya dengan baik kecuali ia tidak akan mencium aroma surga.” (HR Al-Bukhari no 7150)

Dalam riwayat yang lain إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ “Kecuali Allah haramkan surga baginya” (HR Al-Bukhari no 7151 dan Muslim no 142)

Meskipun hadits di atas bersifat umum namun ada hadits yang lebih mengkhususkan tentang kepemimpinan seorang suami dalam rumah tangga. Nabi ﷺ bersabda :

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ، أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ؟ حَتَّى يُسْأَلَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ

“Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia menjaganya ataukah ia melalaikannya?. Bahkan sampai seorang suami akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya” (HR An-Nasaai di As-Sunan al-Kubro no 9129 dan Ibnu Hibban no 4492, dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 1636)

Keempat : Ancaman laknat malaikat ditujukan dalam hadits kepada wanita yang menolak bukan kepada lelaki yang menolak karena beberapa pertimbangan, diantaranya :

Lelaki biasanya yang mengajak dan wanita yang dicari untuk diajak bergaul, dan biasanya memang demikian bahwa suami yang mengajak/meminta istrinya untuk melayaninya. Dan sebaliknya kalau seorang istri mengajak suamianya untuk berhubungan maka jarang suami normal yang menolak, karena memang itu yang diharapkan oleh suami.

Demikian pula wanita seandainya tidak berhasrat untuk berhubungan intim ia tetap saja bisa melayani suaminya, berbeda dengan lelaki jika ia tidak berhasrat maka kemaluannya tidak bisa ereksi dan tidak bisa untuk melayani istrinya.

Kesabaran seorang lelaki untuk tidak berhubungan intim sangat lemah dibandingkan kesabaran seorang wanita untuk tidak berhubungan intim.

Lelaki juga lebih cepat tergerak syahwatnya dibandingkan wanita.

Dengan pertimbangan di atas maka syariat datang dengan dalil yang banyak mengingatkan akan hal ini, yaitu kesiapan seorang istri untuk melayani hasrat suaminya. Adapun suami pada umumnya siap untuk melayani hasrat istrinya, dan yang sering terjadi adalah wanita yang tidak siap melayani hasrat suaminya.

Kelima : Sebagian orang menyangka bahwa hadits “laknat malaikat” ini hanya berkaitan dengan kemaslahatan suami, padahal barang siapa yang merenungkan dengan baik ternyata hadits ini juga berkaitan dengan kemaslahtan istri.

Seorang wanita tentu tidak ridho jika suaminya menyalurkan syahwatnya di tempat yang haram. Seorang wanita sangat cemburu jika suaminya “baru berkeinginan” untuk melakukan hal yang haram tersebut, apalagi jika sampai melakukannya. Tentunya hal ini melazimkan hendaknya sang wanita siap untuk melayani suaminya agar menyalurkan syahwatnya pada dirinya.

Maka jika dalam Rancangan KUHP pasal 480 dikatakan, suami memperkosa. Artinya istrinya lebih “ridho kalau suaminya, melampiaskan ke PSK atau jalan tak halal, dari pada istri harus melayani”. Sama saja artinya pasal ini, mengajak para suami menjadi suami bejat karena lebih enak tanpa hukum jika ia “mencari pelampiasan” ke jalanan.

Semakin seorang wanita menolak untuk digauli maka semakin besar potensi dalam diri suaminya untuk menyalurkan syahwatnya di tempat yang lain, yang hal ini terpendam di hati suaminya dan terkadang lisannya pun mengungkapkannya.

Dan kenyataannya bahwa semakin sang wanita siap melayani suaminya maka suaminya akan semakin mencintainya dan semakin indah keharmonisan hidup rumah tangga mereka.

Kelima poin di atas menegaskan bahwa seorang wanita berusaha untuk bisa melayani hasrat suaminya, dan sebaliknya juga seorang suami. Akan tetapi memang tidak bisa kita katakan bahwa jika suami menolak ajakan istri maka iapun akan dilaknat malaikat, karena tidak ada dalil yang tegas akan hal ini. Lagi pula memang lelaki yang mencari nafkah bukan sang wanita, jika sang lelaki tidak memberi nafkah maka sang wanita tidak wajib melayani sang suami.

Tentunya sang suami hendaknya berusaha juga melayani hasrat sang istri, bahkan ini adalah perkara yang wajib -sebagaima telah lalu penjelasannya di atas- agar kehidupan rumah tangga bisa semakin harmonis. Bukan cuma suami yang butuh untuk dipuaskan hasratnya, bukan hanya suami yang butuh untuk menundukan pandangannya, dan bukan hanya suami yang butuh untuk menjaga kemaluan dan kehormatannya…, istri juga demikian membutuhkan itu semua.

Maka jika pasal 480 ini diterapkan, sama artinya pemerintah membuka lebar-lebar kran perzinahan karena suami takut dilaporkan istrinya jika ia saat puncak syahwat lantas meminta jatah istrinya dengan berbagai dalih istrinya menolak lantas dianggap suami telah memperkosa istri sahnya sendiri. Naudzubillah, semakin lama rezim ini semakin jauh dari kaidah agama.

Wallahu a’lam bisshowab.

Abah Muazar Habibi
Pengasuh Pesantren Lenterahati Islamic Boarding

Tinggalkan Balasan