Mau Masuk TK Pun Mesti Psikotes
OLeh : MA. Muazar Habibi
SAAT penerimaan murid untuk tahun ajaran baru selalu membuat orangtua yang anaknya harus masuk ke tingkat sekolah yang lebih tinggi menjadi sibuk. Mereka ke sana ke mari mencari informasi tentang pembukaan, tes, maupun kapan, dan besarnya uang pangkal yang mesti dibayar.
APALAGI belakangan ini tes masuk yang harus dilalui calon murid baru tidak hanya meliputi tes akademik seperti bahasa dan matematika, tetapi juga tes psikologi atau sering disebut psikotes. Bahkan, beberapa sekolah mensyaratkan tes psikologi sebagai hal wajib, di samping tes akademik.
Di Jakarta, misalnya, tes psikologi tak hanya diberlakukan bagi calon murid baru pada tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), tetapi anak-anak yang hendak masuk taman kanak-kanak (TK) pun ada yang mesti menjalani apa yang disebut sebagai tes psikologi.
Seorang ayah yang memasukkan anaknya ke sebuah TK swasta di bilangan Jakarta Timur bercerita, apa yang disebut tes psikologi itu ternyata berupa perintah bagi para calon murid TK itu untuk membuat puzzle atau menyusun potongan-potongan gambar menjadi sebuah gambar yang utuh.
Menurutnya, hal itu sebenarnya tak bisa disebut sebagai tes psikologi, tetapi lebih merupakan observasi dari pihak sekolah untuk mengetahui setidaknya ketekunan dan kemampuan anak berkonsentrasi. “Saya enggak mengerti mengapa mesti dikatakan tes psikologi, dengan biaya sekitar Rp 50.000. Ini sudah membuat stres orangtua, juga membuat kami harus merogoh kocek lebih dalam,” ujarnya.
Selain itu, sebagian sekolah juga mewajibkan calon murid baru mengikuti tes psikologi yang diadakan di sekolah bersangkutan. Mereka tak mau menerima tes psikologi yang sudah dilakukan si anak di sekolah asalnya. Ini berarti dalam jangka waktu berdekatan, anak harus mengerjakan tes psikologi berkali-kali.
Belum lagi kalau si anak ternyata tidak diterima di sekolah A, misalnya. Jadi, untuk masuk ke sekolah B, si anak mesti melalui tes psikologi lagi. Di samping itu, beban biaya yang harus ditanggung orangtua pun berlipat. Biasanya, di samping uang formulir, sekolah juga membebankan biaya tes psikologi kepada orangtua calon murid baru, yang besarnya bervariasi antara Rp 75.000 sampai Rp 150.000.
SEBERAPA perlu sebenarnya tes psikologi bagi para murid sampai sebagian sekolah mensyaratkan hal itu bagi calon murid barunya? Prof Dr Ana Suhaenah Suparno, guru besar pendidikan Universitas Negeri Jakarta berpendapat, tes psikologi sesungguhnya “hanyalah” alat yang seharusnya dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan potensi anak didik.
Namun, anehnya, belakangan ini tes psikologi-yang lebih cocok disebut sebagai tes intelegensi-justru digunakan sebagai alat seleksi sekolah dalam menerima calon murid baru. “Artinya, si calon murid baru tidak diterima di sekolah itu karena dinyatakan tak lulus tes intelegensinya,” katanya.
Padahal, seharusnya lewat tes intelegensi, sekolah bisa melihat hal-hal yang menjadi potensi maupun petunjuk lain berkaitan dengan kondisi masing-masing murid. “Misalnya pada tes intelegensi itu ditemukan hal-hal luar biasa, seperti calon murid hiperaktif, disleksia, atau autis, berarti diperlukan bantuan guru lain yang punya kompetensi untuk itu. Atau, kalau memang diperlukan, mungkin si anak mesti dibawa orangtua konsultasi dengan psikolog, bahkan menjalani terapi,” tutur mantan Rektor UNJ ini.
Ana juga melihat bahwa penggunaan tes intelegensi sebagai alat seleksi bertentangan dengan program pemerintah untuk wajib belajar sembilan tahun. “Kalau kita sudah berani mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, artinya kewajiban kita sebagai guru dan pendidik untuk memberi pendidikan kepada anak-anak, bukan malah menolak mereka,” katanya.
Sementara Lucia RM Royanto, psikolog pendidikan dan pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berpendapat, tes intelegensi untuk calon murid baru sebenarnya tidaklah mutlak. Menurutnya, tes intelegensi itu biasanya baru dilakukan bila ditemukan ada masalah pada si anak didik, entah karena dia tidak bisa mengikuti pelajaran, sulit berkonsentrasi, atau ada hal lain yang menghambat perkembangannya di sekolah.
“Harus diakui, kata psikotes sendiri sering kali menimbulkan suasana yang menakutkan bagi siswa. Kalau sudah begini, bisa terjadi hal yang tadinya ingin dicapai lewat tes intelegensi justru tidak tercapai karena sudah memberi dampak psikologis yang tidak bagus,” ujar Lucia.
Apalagi, bila tes intelegensi itu diberlakukan pada calon murid baru tingkat TK dan SD. Menurut dia, untuk mengetahui kesiapan anak dalam belajar di sekolah sebenarnya guru bisa melakukan observasi saja. “Tidak perlu tes intelegensi. Di sini cukup dilakukan observasi oleh guru yang bersangkutan. Para guru kan juga punya sense sendiri, kira-kira anak ini bagaimana.”
“Kalau memang ada masalah, misalnya yang esktrem, berdasarkan observasi guru si anak sepertinya terbelakang mental. Maka, guru tinggal berkonsultasi dengan orangtua dan memintanya membawa si anak kepada ahlinya,” kata Lucia.
Hal yang perlu diperhatikan pada anak yang hendak masuk TK dan SD adalah kesiapan si anak untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. “Sekali lagi, kesiapan anak, bukan kepandaian anak dalam membaca, menulis, dan berhitung ya! Kalau tingkat TK seberapa jauh si anak tak lagi terlalu tergantung kepada orangtuanya, untuk SD meliputi kesiapan fisik, mental, sosial, emosi, dan intelegensi,” ujarnya.
KALAU Prof Ana Suhaenah Suparno menyebutkan tes intelegensi digunakan sebagai alat seleksi, Lucia berpendapat bahwa tes intelegensi yang diberlakukan pada sebagian sekolah bisa menjadi tameng untuk menolak anak. “Artinya, tes intelegensi diadakan agar sekolah itu tidak kebobolan, kemasukan anak yang hiperaktif, autis, atau bahkan terbelakang mental,” ujar Lucia.
Alasan sekolah, menurutnya, “sederhana” sebab mereka tak ingin kerepotan mengajari anak yang tidak “seragam” dengan murid lain pada umumnya. “Mengapa tes intelegensi dilakukan pada awal penerimaan murid baru sebab sekolah susah mengeluarkan anak yang sudah telanjur masuk sebagai murid sekolah tersebut,” kata Lucia menambahkan.
Hal ini terutama untuk sekolah-sekolah favorit, di mana peminatnya jauh lebih banyak daripada daya tampung sekolah. Sebagai seleksi awal, dengan tes intelegensi, calon murid bisa langsung terseleksi. Misalnya, dengan cara mensyaratkan hasil tes intelegensi murid 120 lebih atau superior, atau bahkan lebih dari 130 yang berarti amat superior. Sementara nilai tes 90-110 termasuk rata-rata, 111-120 disebut di atas rata-rata.
Pihak sekolah sendiri akan lebih mudah memberi pelajaran pada murid dengan tingkat intelegensi yang relatif sama dibandingkan dengan yang beragam. Bahkan, ada pula sekolah yang tak hanya mewajibkan tes intelegensi saja untuk calon murid baruk, tetapi tes psikologi yang lebih menyeluruh untuk melihat kemampuan analisis, penalaran, dan abstraksi si anak.
Senada dengan Prof Ana, kalaupun sekolah mengadakan tes intelegensi untuk calon murid baru, sebaiknya disesuaikan dengan usia dan dimaksudkan untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin. “Idealnya tiap sekolah mempunyai guru bantu sesuai dengan keperluan masing-masing anak,” kata Lucia.
Dia menambahkan, tes intelegensi untuk masing-masing tingkatan, bahkan bidang sekolah, itu berbeda-beda materinya. Oleh karena itu, biasanya materi tes intelegensi yang dilakukan oleh psikolog juga tergantung pada permintaan atau kebutuhan sekolah masing-masing.
Misalnya, untuk tingkat SLTP dan SLTA termasuk di dalamnya antara lain kemampuan abstraksi, verbal, ketekunan, sikap kerja, dan kemampuan konsentrasi. “Tes intelegensi itu bisa menggambarkan kapasitas umum individu, sementara kemampuan akademik bisa diasah atau dipelajari,” ujar Lucia tentang tes intelegensi yang umumnya berlaku setahun, meski perubahan yang terjadi biasanya tetap pada batasan tertentu.
SEMUA orangtua tentulah berharap anaknya bisa masuk sekolah favorit atau mendapat pendidikan sebaik mungkin. Untuk mampu melewati tes intelegensi yang diwajibkan sebagian sekolah itu, apa yang bisa dipersiapkan anak maupun orangtua?
Menurut Lucia, hasil tes tersebut biasanya amat tergantung pada kondisi individu saat tes berlangsung. Artinya, suasana emosi, kebugaran, dan kesehatan masing-masing individu diusahakan sebaik mungkin sehingga hasil yang dicapai pun bisa maksimal.
“Memang semakin banyak sekolah yang mengadakan tes intelegensi bagi murid-muridnya. Selain untuk mendapatkan murid dengan kriteria yang diharapkan pihak sekolah, mereka juga bisa punya data awal tentang si anak. Kalau suatu ketika si anak bermasalah, sekolah sudah punya catatannya,” tuturnya.
Prof Ana menambahkan, informasi yang diperoleh dari hasil tes bisa membantu guru memberi pelayanan yang paling sesuai dengan masing-masing individu. Di sisi lain, dia merasa prihatin sebab tes semacam itu bisa menjadikan sekolah yang mutunya bagus dan diminati banyak orang akan mendapat murid dengan potensi prima.
“Kalau muridnya saja sudah hasil seleksi, ditambah proses belajar yang bagus, pasti hasilnya juga bagus. Sementara sekolah yang proses belajarnya biasa-biasa saja, dengan murid yang seleksinya tidak ketat, hasilnya tentulah tak sebagus sekolah favorit. Padahal teorinya, kalau inputnya kurang bagus, berarti prosesnya harus dua kali lipat lebih bagus dari biasanya, baru hasilnya sama dengan sekolah dengan input bagus,” tutur Ana.
Bila keadaan semacam itu dibiarkan, Ana khawatir kesenjangan antara sekolah favorit dan sekolah lainnya bisa semakin jauh. “Orang suka bilang kalau pendidikan itu adalah investasi. Maksudnya di sini adalah investasi sumber daya manusia. Tetapi kalau kemudian diartikan sebagai investasi material, maka yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan,” cetusnya prihatin. (ARN/CP)