LENTERAHATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Loading

Allah Menciptakan Keindahan di Balik Kekurangan

Allah Menciptakan Keindahan di Balik Kekurangan

Allah Menciptakan Keindahan di Balik Kekurangan

Sampai sekarang saya belum berani menguji mahasiswa saya secara tertulis

Sampai sekarang saya belum berani mengajarkan 2 anak saya mengaji

Sampai sekarang saya belum berani menerima setoran hafalan santri-santri tanpa Mushaf Al Qur’an dengan Tulisan Besar.

Sampai sekarang tiap kali menulis status selalu berulang di edit dan di edit.

Sampai sekarang saya tulisan-tulisan saya yang banyak tersebar sanggat banyak kata yang salah dan juga kalimat yang tertukar.

Bahkan saya ketika menulis ini pun, berkali-kali saya baca ulang dan edit berkali-kali hingga saya berani upload ke media sosial.

Kenapa?
Kenapa saya memilih ujian lisan pada mahasiswa-mahasiswa saya? Karena saya tau bahwa saya sangat sulit menghafalkan nama dan sering kali salah menyebut nama mahasiswa hingga sekarang saya kuliah Online saya minta mahasiswa harus menggunakan foto profile di WA-Zoom-GM-MT dll dengan foto asli dan nama aslinya.

Saya belum berani mengajarkan anak-anak saya ngaji bahkan menerima setoran hafalan dari mereka dan para santri karena saya baru bisa membaca Al Quran walau belum lancar ketika menginjak kelas 1 SMP itupun masih sangat sering terbalik antara huruf BA dan NUN, antara huruf yang ada titik di atas dan dibawah.

Kenapa sering sekali saya harus edit ulang tulisan-tulisan saya? Karena saya masih sanggat binggung membedakan antara huruf e dengan e, antara b dengan d, antara g dengan q dan sering tertukar kata antara muda dengan mudah dan ketika menulis sanggat sering sekali tertinggal huuf g dan banyak hal.

Saya gunakan software di keyboard HP saya dan Laptop untuk mengidentifikasi kata yang salah dan saya gunakan software identifikasi penulisan sehingga jika saya klik kata yang salah keyboard HP atau Laptop langsung mengoreksinya.

Siapa yang menyangka saya sampai bisa lulus S3 dengan kondisi Disleksia bahkan jenjang kuliah saya tempuh dengan cukup singkat. S1 Psikologi UMM saya tempuh 3 tahun dengan IP. 3.89 (cuma laude), S2 Pendidikan saya tempuh 1 tahun tepat dengan IP. 4.00 (summa cum laude), S2 Profesi saya tempuh 1.2 tahun (IP. 4. Suma Cum Laude) dan Ahamdulillah S3 saya tempuh 3 lebih sedikit, dengan IP 4.

Semua itu bukan tanpa halangan dan rintangan, tetapi banyak rintangan karena selain disleksia saya juga memiliki kelainan hemopholia yaitu kelainan pembekuan darah. Halangan sering muncul bukan hanya karena disleksia tetapi justru karena Hemophilia.

Kenapa saya bisa mengatasi ini semua? Jawabannya hanya satu yaitu perlakukan dan pola asuh dari orang tua yang menyadari anaknya memiliki kelainan. Walaupun bapak dan ibu (Allahuma Yarham) tak tau istilah disleksia tetapi beliau paham saat mengajarkan ngaji tak pernah dibentak walau sering salah, saya tau bagaimana paman-paman waktu itu berulang-ulang mengajar ngaji tetapi tetap saja sering salah karena sulit membedakan huruf nun dan ba, jim dan huruf-huruf yang memiliki titik atas dan bawah.

Pernah suatu ketika saat saya dipesantren karena saya tidak pernah cerita ke Yai dan para asatidz bahwa saya kesulitan membaca Al Quran bila cepat dan apalagi kitab gundul. Saat itu saya kena giliran membaca SHAHIH BUCHARI dan SHAHIH MUSLIM, saya harus mengulang-ulang hadis yang sama karena keliru baca terus. Kemudian saya mendapatkan hukuman, ya bukan karena beliau yang menghukum berniat demikian karena memang belum tau kalau saya mengidap kelainan disleksia.

Saya tetap menyembunyikan kelainan ini karena saya ingin seperti teman-teman yang lain yang lancar membaca Al Quran dan Kitab-kitab gundul lainnya seperti bacaan santri lainya.

Kemudian di pundaknya saya kelas 1 SMA, mau tidak mau saya harus sampaikan bahwa ke Yai dan Asatidz bahwa saya kesulitan membaca kita gundul, itu saya sampaikan ke Kelapa SMA dan kemudian beliau menyampaikan ke pembina pesantren.

Di SMA, Kepala sekolah memahami saya sehingga saya di explorer dalam sisi organisasi dan akhirnya full sebagai aktifis. Walau pembina pesantren tetap menuntut saya harus bisa seperti santri lain hingga suatu saat sempat bersitegang dan terkena “pukulan” pembina pesantren yang menghendaki saya berhenti sebagai ketua OSIS dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di tingkat ranting Pesantren, Cabang se Kecamatan Paciran dan melepas kepengurusan Ketua Bidang Kader IPM PD Lamongan.

Waktu itu Yai Abdurrahman Syamsuri adalah Ketua PD Muhammadiyah Lamongan dan beliau bersahabat dengan sang kakek. Mendengar saya “ribut dengan salah satu pembina/pengasuh pesantren” beliau bukan memarahi saya justru pembina yang di nasehati beliau agar mendukung aktifitas IPM sebagai anak kandung Muhammadiyah dan cikal bakal kader Muhammadiyah.

Itulah kenapa saya bisa eksis dengan kondisi kelainan disleksia selain karena pola asuh, lingkungan dan suasana mendukung di pendidikan yang tepat.

Anak-anak dengan kondisi spesial tidaklah sebuah kekurangan tetapi keistimewaan karena Allah tak pernah salah menciptakan mahlukNya apalagi menciptakan manusia karena Allah sudah menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk.

Dalam Alquran (QS 95: 4), Allah SWT menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini

Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.

Masalah cantik, tampan, pintar, cerdas dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal atau dengan kondisi khusus seperti kelainan atau lahir tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan semacamnya? Siapakah yang salah? Allahkah, dengan pertimbangan Dia sebagai Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk.

Untuk meneropong masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Ketika Allah, di dalam Alquran, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti ‘Kami’ (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.

Misalnya, ketika Allah menyatakan, ‘Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya’, mengandung pengertian bahwa bukan Allah sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain itu bisa saja para penghafal Alquran, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.

Begitupun halnya ketika Allah mengidentifikasi dengan kata ‘Kami’ dalam hal penciptaan manusia, ”Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.” (At-Tiin: 4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Allah dan makhluk-Nya di dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Allah sendiri, kun fayakun, jadilah indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.

Maka ketika orangtua dianugrahkan anak-anak yang special bukan berarti anak tersebut tidak normal dan hilang masa depannya, namun Allah sedang melibatkan secara aktif orangtua agar ikut serta dalam menjadikan seorang anak yang dititipkan sebagai amanah menjadi indah (ahsanu taqwim).

Maka proses mendidik dengan sabar, mencarikan sekolah yang tepat dan terus menerus mencari talenta dibalik kekurangannya adalah cara terbaik ikut terlibat menjadikan anak-anak spesial menjadi indah (ahsanu taqwim).

Pada usia 47 ini, saya menyadari bahwa pengalaman kehidupan yang pernah saya alami ini menjadi modal untuk mengembangkan sebuah pendidikan yang ramah anak dan mengembangkan semua potensi tanpa diskriminasi. Alhamdulilah semua berkat doa dan dukungan dari Istri, keluarga, tim-tim hebat LENTERAHATI dan Walisantri serta pemerintah, lembaga ini berkembang pesat menjadi pusat peradapan pendidikan modern tanpa kekerasan dan diskriminasi.

Semoga pengalaman hidup 47 tahun ini menginspirasi yaitu menjadi orangtua penuh kasih sayang apapun kondisi anak yang diamanahoan kepada kita.

Terimakasih istriku Dina Nurlaily Aprinaida dan Anak-anakku.

Allahu a’lam.

Abuya Muazar Habibi
Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari LENTERAHATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca