LENTERAHATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Loading

Arsip untuk Agustus 2019

Allah Menciptakan Keindahan di Balik Kekurangan

Allah Menciptakan Keindahan di Balik Kekurangan

Abah Muazar Habibi

Pengasuh Pesantren Lenterahati Islamic Boarding

Sampai sekarang saya belum berani menguji mahasiswa saya secara tertulis,

Sampai sekarang saya belum berani mengajarkan 2 anak saya mengaji,

Sampai sekarang saya belum berani menerima setoran hafalan santri-santri tanpa Mushaf Al Qur’an dengan Tulisan Besar.

Sampai sekarang tiap kali menulis status selalu berulang di edit dan di edit.

Sampai sekarang saya tulisan-tulisan saya yang banyak tersebar sanggat banyak kata yang salah dan juga kalimat yang tertukar.

Bahkan saya ketika menulis ini pun, berkali-kali saya baca ulang dan edit berkali-kali hingga saya berani upload ke media sosial.

Kenapa?

Kenapa saya memilih ujian lisan pada mahasiswa-mahasiswa saya? Karena saya tau bahwa saya sangat sulit menghafalkan nama dan sering kali salah menyebut nama mahasiswa hingga sekarang saya kuliah Online saya minta mahasiswa harus menggunakan foto profile di WAnya dengan foto asli dan nama aslinya.

Saya belum berani mengajarkan anak-anak saya ngaji bahkan menerima setoran hafalan dari mereka dan para santri karena saya baru bisa membaca Al Quran walau belum lancar ketika menginjak kelas 1 SMP itupun masih sangat sering terbalik antara huruf BA dan NUN, antara huruf yang ada titik di atas dan dibawah.

Kenapa sering sekali saya harus edit ulang tulisan-tulisan saya? Karena saya masih sanggat binggung membedakan antara huruf e dengan e, antara b dengan d, antara g dengan q dan sering tertukar kata antara muda dengan mudah dan ketika menulis sanggat sering sekali tertinggal huuf g dan banyak hal.

Saya gunakan software di keyboard HP saya dan Laptop untuk mengidentifikasi kata yang salah dan saya gunakan software identifikasi penulisan sehingga jika saya klik kata yang salah keyboard HP atau Laptop langsung mengoreksinya.

Siapa yang menyangka saya sampai bisa lulus S3 dengan kondisi Disleksia bahkan jenjang kuliah saya tempuh dengan cukup singkat. S1 Psikologi UMM saya tempuh 3 tahun dengan IP. 3.89 (cuma laude), S2 Pendidikan saya tempuh 1 tahun tepat dengan IP. 4.00 (summa cum laude), S2 Profesi saya tempuh 1.2 tahun (IP. 4. Suma Cum Laude) dan Ahamdulillah S3 saya tempuh 3 lebih sedikit, dengan IP 4.

Semua itu bukan tanpa halangan dan rintangan, tetapi banyak rintangan karena selain disleksia saya juga memiliki kelainan hemopholia yaitu kelainan pembekuan darah. Halangan sering muncul bukan hanya karena disleksia tetapi justru karena Hemophilia.

Kenapa saya bisa mengatasi ini semua? Jawabannya hanya satu yaitu perlakukan dan pola asuh dari orang tua yang menyadari anaknya memiliki kelainan. Walaupun bapak dan ibu (Allahuma Yarham) tak tau istilah disleksia tetapi beliau paham saat mengajarkan ngaji tak pernah dibentak walau sering salah, saya tau bagaimana paman-paman waktu itu berulang-ulang mengajar ngaji tetapi tetap saja sering salah karena sulit membedakan huruf nun dan ba, jim dan huruf-huruf yang memiliki titik atas dan bawah.

Pernah suatu ketika saat saya dipesantren karena saya tidak pernah cerita ke Yai dan para asatidz bahwa saya kesulitan membaca Al Quran bila cepat dan apalagi kitab gubdul. Saat itu saya kena giliran membaca SHAHIH BUCHARI, saya harus mengulang-ulang hadis yang sama karena keliru baca terus. Kemudian saya mendapatkan hukuman, ya bukan karena beliau yang menghukum berniat demikian karena memang belum tau kalau saya mengidap kelainan disleksia.

Saya tetap menyembunyikan kelainan ini karena saya ingin seperti teman-teman yang lain yang lancar membaca Al Quran dan Kitab-kitab gundul lainnya seperti bacaan santri lainya.

Kemudian di pundaknya saya kelas 1 SMA, mau tidak mau saya harus sampaikan bahwa ke Yai dan Asatidz bahwa saya kesulitan membaca kita gundul, itu saya sampaikan ke Kelapa SMA dan kemudian beliau menyampaikan ke pembina pesantren.

Di SMA, Kepala sekolah memahami saya sehingga saya di explorer dalam sisi organisasi dan akhirnya full sebagai aktifis. Walau pembina pesantren tetap menuntut saya harus bisa seperti santri lain hingga suatu saat sempat bersitegang dan terkena “pukulan” pembina pesantren yang menghendaki saya berhenti sebagai ketua OSIS dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di tingkat ranting Pesantren, Cabang se Kecamatan Paciran dan melepas kepengurusan Ketua Bidang Kader IPM PD Lamongan.

Waktu itu Yai Abdurrahman Syamsuri adalah Ketua PD Muhammadiyah Lamongan dan beliau bersahabat dengan sang kakek. Mendengar saya “ribut dengan salah satu pembina/pengasuh pesantren” beliau bukan memarahi saya justru pembina yang di nasehati beliau agar mendukung aktifitas IPM sebagai anak kandung Muhammadiyah dan cikal bakal kader Muhammadiyah.

Itulah kenapa saya bisa eksis dengan kondisi kelainan disleksia selain karena pola asuh, lingkungan dan suasana mendukung di pendidikan yang tepat.

Anak-anak dengan kondisi spesial tidaklah sebuah kekurangan tetapi keistimewaan karena Allah tak pernah salah menciptakan mahlukNya apalagi menciptakan manusia karena Allah sudah menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk.

Dalam Alquran (QS 95: 4), Allah SWT menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini.

Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.

Masalah cantik, tampan, pintar, cerdas dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal atau dengan kondisi khusus seperti kelainan atau lahir tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan semacamnya? Siapakah yang salah? Allahkah, dengan pertimbangan Dia sebagai Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk.

Untuk meneropong masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Ketika Allah, di dalam Alquran, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti ‘Kami’ (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.

Misalnya, ketika Allah menyatakan, ‘Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya’, mengandung pengertian bahwa bukan Allah sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain itu bisa saja para penghafal Alquran, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.

Begitupun halnya ketika Allah mengidentifikasi dengan kata ‘Kami’ dalam hal penciptaan manusia, ”Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.” (At-Tiin: 4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Allah dan makhluk-Nya di dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Allah sendiri, kun fayakun, jadilah indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.

Maka ketika orangtua dianugrahkan anak-anak yang special bukan berarti anak tersebut tidak normal dan hilang masa depannya, namun Allah sedang melibatkan secara aktif orangtua agar ikut serta dalam menjadikan seorang anak yang dititipkan sebagai amanah menjadi indah (ahsanu taqwim).

Maka proses mendidik dengan sabar, mencarikan sekolah yang tepat dan terus menerus mencari talenta dibalik kekurangannya adalah cara terbaik ikut terlibat menjadikan anak-anak spesial menjadi indah (ahsanu taqwim).

Pada usia 45 ini, saya menyadari bahwa pengalaman kehidupan yang pernah saya alami ini menjadi modal untuk mengembangkan sebuah pendidikan yang ramah anak dan mengembangkan semua potensi tanpa diskriminasi. Alhamdulilah semua berkat doa dan dukungan dari Istri, keluarga, tim-tim hebat LENTERAHATI dan Walisantri serta pemerintah, lembaga ini berkembang pesat menjadi pusat peradapan pendidikan modern tanpa kekerasan dan diskriminasi.

Semoga pengalaman hidup 45 tahun ini menginspirasi yaitu menjadi orangtua penuh kasih sayang apapun kondisi anak yang diamanahoan kepada kita.

Allahu a’lam.

Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School, 26 Agustus 2019

Allah Menciptakan Keindahan di Balik Kekurangan

Allah Menciptakan Keindahan di Balik KekuranganAbah Muazar Habibi
Pengasuh Pesantren Lenterahati Islamic BoardingSampai sekarang saya belum berani menguji mahasiswa saya secara tertulis,
Sampai sekarang saya belum berani mengajarkan 2 anak saya mengaji,
Sampai sekarang saya belum berani menerima setoran hafalan santri-santri tanpa Mushaf Al Qur’an dengan Tulisan Besar.
Sampai sekaran

g tiap kali menulis status selalu berulang di edit dan di edit.
Sampai sekarang saya tulisan-tulisan saya yang banyak tersebar sanggat banyak kata yang salah dan juga kalimat yang tertukar.
Bahkan saya ketika menulis ini pun, berkali-kali saya baca ulang dan edit berkali-kali hingga saya berani upload ke media sosial.Kenapa?
Kenapa saya memilih ujian lisan pada mahasiswa-mahasiswa saya? Karena saya tau bahwa saya sangat sulit menghafalkan nama dan sering kali salah menyebut nama mahasiswa hingga sekarang saya kuliah Online saya minta mahasiswa harus menggunakan foto profile di WAnya dengan foto asli dan nama aslinya.Saya belum berani mengajarkan anak-anak saya ngaji bahkan menerima setoran hafalan dari mereka dan para santri karena saya baru bisa membaca Al Quran walau belum lancar ketika menginjak kelas 1 SMP itupun masih sangat sering terbalik antara huruf BA dan NUN, antara huruf yang ada titik di atas dan dibawah.Kenapa sering sekali saya harus edit ulang tulisan-tulisan saya? Karena saya masih sanggat binggung membedakan antara huruf e dengan e, antara b dengan d, antara g dengan q dan sering tertukar kata antara muda dengan mudah dan ketika menulis sanggat sering sekali tertinggal huuf g dan banyak hal.Saya gunakan software di keyboard HP saya dan Laptop untuk mengidentifikasi kata yang salah dan saya gunakan software identifikasi penulisan sehingga jika saya klik kata yang salah keyboard HP atau Laptop langsung mengoreksinya.Siapa yang menyangka saya sampai bisa lulus S3 dengan kondisi Disleksia bahkan jenjang kuliah saya tempuh dengan cukup singkat. S1 Psikologi UMM saya tempuh 3 tahun dengan IP. 3.89 (cuma laude), S2 Pendidikan saya tempuh 1 tahun tepat dengan IP. 4.00 (summa cum laude), S2 Profesi saya tempuh 1.2 tahun (IP. 4. Suma Cum Laude) dan Ahamdulillah S3 saya tempuh 3 lebih sedikit, dengan IP 4.Semua itu bukan tanpa halangan dan rintangan, tetapi banyak rintangan karena selain disleksia saya juga memiliki kelainan hemopholia yaitu kelainan pembekuan darah. Halangan sering muncul bukan hanya karena disleksia tetapi justru karena Hemophilia.Kenapa saya bisa mengatasi ini semua? Jawabannya hanya satu yaitu perlakukan dan pola asuh dari orang tua yang menyadari anaknya memiliki kelainan. Walaupun bapak dan ibu (Allahuma Yarham) tak tau istilah disleksia tetapi beliau paham saat mengajarkan ngaji tak pernah dibentak walau sering salah, saya tau bagaimana paman-paman waktu itu berulang-ulang mengajar ngaji tetapi tetap saja sering salah karena sulit membedakan huruf nun dan ba, jim dan huruf-huruf yang memiliki titik atas dan bawah.Pernah suatu ketika saat saya dipesantren karena saya tidak pernah cerita ke Yai dan para asatidz bahwa saya kesulitan membaca Al Quran bila cepat dan apalagi kitab gubdul. Saat itu saya kena giliran membaca SHAHIH BUCHARI, saya harus mengulang-ulang hadis yang sama karena keliru baca terus. Kemudian saya mendapatkan hukuman, ya bukan karena beliau yang menghukum berniat demikian karena memang belum tau kalau saya mengidap kelainan disleksia.Saya tetap menyembunyikan kelainan ini karena saya ingin seperti teman-teman yang lain yang lancar membaca Al Quran dan Kitab-kitab gundul lainnya seperti bacaan santri lainya.Kemudian di pundaknya saya kelas 1 SMA, mau tidak mau saya harus sampaikan bahwa ke Yai dan Asatidz bahwa saya kesulitan membaca kita gundul, itu saya sampaikan ke Kelapa SMA dan kemudian beliau menyampaikan ke pembina pesantren.Di SMA, Kepala sekolah memahami saya sehingga saya di explorer dalam sisi organisasi dan akhirnya full sebagai aktifis. Walau pembina pesantren tetap menuntut saya harus bisa seperti santri lain hingga suatu saat sempat bersitegang dan terkena “pukulan” pembina pesantren yang menghendaki saya berhenti sebagai ketua OSIS dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di tingkat ranting Pesantren, Cabang se Kecamatan Paciran dan melepas kepengurusan Ketua Bidang Kader IPM PD Lamongan.Waktu itu Yai Abdurrahman Syamsuri adalah Ketua PD Muhammadiyah Lamongan dan beliau bersahabat dengan sang kakek. Mendengar saya “ribut dengan salah satu pembina/pengasuh pesantren” beliau bukan memarahi saya justru pembina yang di nasehati beliau agar mendukung aktifitas IPM sebagai anak kandung Muhammadiyah dan cikal bakal kader Muhammadiyah.Itulah kenapa saya bisa eksis dengan kondisi kelainan disleksia selain karena pola asuh, lingkungan dan suasana mendukung di pendidikan yang tepat.Anak-anak dengan kondisi spesial tidaklah sebuah kekurangan tetapi keistimewaan karena Allah tak pernah salah menciptakan mahlukNya apalagi menciptakan manusia karena Allah sudah menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk.Dalam Alquran (QS 95: 4), Allah SWT menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini.Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.Masalah cantik, tampan, pintar, cerdas dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal atau dengan kondisi khusus seperti kelainan atau lahir tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan semacamnya? Siapakah yang salah? Allahkah, dengan pertimbangan Dia sebagai Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk. Untuk meneropong masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Ketika Allah, di dalam Alquran, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti ‘Kami’ (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.Misalnya, ketika Allah menyatakan, ‘Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya’, mengandung pengertian bahwa bukan Allah sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain itu bisa saja para penghafal Alquran, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.Begitupun halnya ketika Allah mengidentifikasi dengan kata ‘Kami’ dalam hal penciptaan manusia, ”Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.” (At-Tiin: 4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Allah dan makhluk-Nya di dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Allah sendiri, kun fayakun, jadilah indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.Maka ketika orangtua dianugrahkan anak-anak yang special bukan berarti anak tersebut tidak normal dan hilang masa depannya, namun Allah sedang melibatkan secara aktif orangtua agar ikut serta dalam menjadikan seorang anak yang dititipkan sebagai amanah menjadi indah (ahsanu taqwim).Maka proses mendidik dengan sabar, mencarikan sekolah yang tepat dan terus menerus mencari talenta dibalik kekurangannya adalah cara terbaik ikut terlibat menjadikan anak-anak spesial menjadi indah (ahsanu taqwim).Pada usia 45 ini, saya menyadari bahwa pengalaman kehidupan yang pernah saya alami ini menjadi modal untuk mengembangkan sebuah pendidikan yang ramah anak dan mengembangkan semua potensi tanpa diskriminasi. Alhamdulilah semua berkat doa dan dukungan dari Istri, keluarga, tim-tim hebat LENTERAHATI dan Walisantri serta pemerintah, lembaga ini berkembang pesat menjadi pusat peradapan pendidikan modern tanpa kekerasan dan diskriminasi.Semoga pengalaman hidup 45 tahun ini menginspirasi yaitu menjadi orangtua penuh kasih sayang apapun kondisi anak yang diamanahoan kepada kita.Allahu a’lam.Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School, 26 Agustus 2019

PENDIDIKAN YANG MEMBAHAGIAKAN MODAL KEBERHASILAN MASA DEPAN ANAK.

PENDIDIKAN YANG MEMBAHAGIAKAN MODAL KEBERHASILAN MASA DEPAN ANAK.

Oleh : MA. Muazar Habibi

Salah satu fungsi dari lembaga pendidikan adalah membentuk kompetensi siswa untuk mecapai kebahagiaan. Salah satu dasar untuk mencapai kebahagiaan sebagai kaum terdidik adalah mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat kepada manusia lainnya.

خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

Sejatinya esensi dan hakikat kemanusiaan tidak akan pernah berubah yaitu kemanfaatan bagi orang lain dan alam, namun dinamika sains dan tehnologi yang acap kali menggerus nilai-nilai moral, etik dan agama. Karena itu, hemat saya, orientasi baru pedagogi yang semestinya dikembangkan ke depan adalah antara lain pendidikan yang membahagiakan dan bukan mencerdaskan; pendidikan yang menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, alam dan tehnologi; dan pendidikan yang mengintegrasikan potensi jasad, akal, dan qalbu.

Yang menjadi tujuan akhir (ultimate goal) dari pendidikan sesungguhnya adalah kebahagiaan dan bukan kecerdasan. Karena kecerdasan, sesungguhnya hanyalah sarana atau prakondisi menuju kebahagiaan, bukan tujuan akhir dari pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 maupun dalam UU Sisdiknas No. 30 Tahun 2013.

Kecerdasan bukan segalanya, bahkan cukup banyak ilmuwan yang mati bunuh diri karena depresi dan putus asa. Sekedar menyebut beberapa saja dari deretan ilmuwan besar dunia yang mati bunuh diri, ada Nicolas Leblanc, ahli kimia dan ahli bedah berkebangsaan Prancis yang terkenal, Alan Turing matematikawan terkemuka Inggris, Ludwig Eduard Boltzmann fisikawan Austria yang terkenal di bidang mekanika statistik dan termodinamika statistik, Edwin Armstrong insinyur listrik Amerika yang menemukan radio FM, dan masih banyak lagi.

Para ilmuwan besar dunia itu, adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan luar biasa. Namun mereka tidak bahagia karena jauh dari agama dan praktik pendidikan yang berorientasi pada bagaimana meraih kebahagiaan melaui Agama. Agama mengajarkan orang bisa meraih kebahagiaaan baik di dunia maupun akhirat. Artinya, baik yang cerdas, setengah cerdas dan kurang cerdas pun harus meraih kebahagiaan.

Secara pedagogik, pendidikan yang membahagiakan adalah pendidikan yang bisa mempertahankan jati diri dan hakikat kemanusiaan peserta didik dan mengarahkan mereka menjadi manusia mandiri yang sadar untuk kembali kefitrahannya. Saalah satu praktik sederhana dari pendidikan yang membahagiakan adalah saat kita bisa memberikan sebahagiaan rezeki kita kepada mereka yang membutuhkan. Karena itu, hemat saya, orientasi pedagogi ke depan adalah bagaimana memberikan teladan dan edukasi yang terus-menerus tentang pentingnya sikap-sikap positif sebagai prakondisi meraih kebahagiaan.

Meraih kebahagian itu, sungguh sederhana. Yakni saling berbagi, saling mengajak kepada kebaikan dan menghindari kemungkaran, saling peduli, saling tolong-menolong, saling mengingkatkan dan nasehat-menasehati, saling memaafkan, saling asah, asih dan asuh, empati, simpati, cinta dan sayang, saling menghormati. Semuanya nilai-nilai luhur itu yang diperintahkan Allah Ta’ala.

Manusia Indonesia yang harus dibangun ke depan adalah manusia yang mampu membangun hubungan dan pola relasi yang seimbang dan proporsional dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama, alam, dan tehnologi.

Muara dari keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, alam dan tehnologi mesti menciptakan dedikasi dan penghambaan yang totalitas kepada Allah SWT, meraih kebahagiaan, menyelamatkan dan memakmurkan bumi dan alam, dan menempatkan tehnologi sekedar alat untuk menambah kualitas hidup (quality of life) manusia dan meningkatkan daya saing suatu produk kreatif.

Maka dari awal Lenterahati Islamic Boarding School telah bertekat bulat membuat suasana belajar yang membahagiakan, karena dengan sistem dan cara belajar yang membahagiakanlah seorang anak akan mampu mengejawentahkan kemampuannya kelak untuk manfaat bagi sesama dan selama ia menempuh pendidikan yang membahagiakan maka proses transformasi ilmu akan mudah diserap oleh sang siswa apalagi dibarengi dengan keteladanan oleh para gurunya.

Semoga manfaat.

Abah Muazar Habibi Psikolog
Pengasuh Pesantren Lenterahati Islamic Boarding

BONUS USIA DIATAS 40 TAHUN

BONUS USIA DIATAS 40 TAHUN

OLeh : MA. Muazar Habibi

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa Al-Qur’an membahas mengenai usia 40 tahun. Hal ini sebagai pertanda bahwa ada hal yang perlu diperhatikan dengan serius pada pembahasan usia 40 tahun ini. Allah Ta’ala berfirman, “Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdo’a, “Ya Rabb-ku, tunjukkanlah kepadaku jalan untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Al-Ahqaf : 15)

Usia 40 tahun disebutkan dengan jelas dalam ayat ini. Pada usia inilah manusia mencapai puncak kehidupannya baik dari segi fisik, intelektual, emosi, maupun spiritualnya. Ia benar-benar telah meninggalkan usia mudanya dan melangkah ke usia dewasa yang sebenar-benarnya. Do’a yang terdapat dalam ayat tersebut dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang berusia 40 tahun atau lebih. Di dalamnya terkandung penjelasan yang jelas bahwa mereka telah menerima nikmat yang sempurna, kecenderungan untuk beramal yang positif, telah mempunyai keluarga yang harmonis, kecenderungan untuk bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala.

Pada ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman: “Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang-orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir : 37)

Para ulama salaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “umur panjang dalam masa yang cukup untuk berfikir” dalam ayat tersebut adalah ketika berusia 40 tahun.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia apabila menjelang usia 40 tahun hendaklah memperbarui taubat dan kembali kepada Allah dengan bersungguh-sungguh. Apabila hal itu berlaku menjelang usia 40 tahun, maka Allah memberikan janji-Nya dalam ayat setelahnya, yaitu kematangan. Usia 40 tahun adalah usia matang bagi kita bersungguh-sungguh dalam hidup. Mengumpulkan pengalaman, menajamkan hikmah dan kebijaksanaan, membuang kejahilan ketika usia muda, lebih berhati-hati, melihat sesuatu dengan hikmah dan penuh penelitian. Maka tidak heran tokoh-tokoh pemimpin muncul secara matang pada usia ini. Bahkan Nabi kita tercinta, Muhammad SAW pun demikian. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, “Diutusnya Rasulullah (yaitu) pada usia 40 tahun.” (HR. Al-Bukhari).

Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi tepat pada usia 40 tahun. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, kecuali Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS. Mayoritas negara juga mensyaratkan bagi calon-calon yang akan menduduki jabatan-jabatan elit seperti ketua negara, harus telah berusia 40 tahun. Masyarakat pun mengakui bahwa mantabnya prestasi seseorang tatkala orang tersebut telah berusia 40 tahun.

Mengapa umur 40 tahun begitu penting?

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu: (1) Anak-anak (aulad); sejak lahir hingga akil baligh, (2) Pemuda (syabab); sejak akil baligh hingga 40 tahun, (3) Dewasa (kuhul); 40 tahun hingga 60 tahun, (4) Tua (syuyukh); 60 tahun ke atas.

Usia 40 tahun adalah usia ketika manusia benar-benar meninggalkan masa mudanya dan beralih kepada masa dewasa sempurna. Kenyataan yang paling menarik pada usia 40 tahun ini adalah meningkatnya minat seseorang terhadap agamanya yang semasa mudanya jauh sekali dengan agamanya. Baik dengan menjalankan kewajiban shalat lima waktunya dengan berjama’ah dan tepat waktu, memperbanyak sedekah, menutupi auratnya, atau dengan mengikuti kajian-kajian keagamaan. Seolah-olah di usia ini merupakan momentum kembalinya manusia kepada fitrahnya. Namun jika ada orang yang telah mencapai usia ini, akan tetapi tidak ada minat terhadap agamanya, maka hal ini sebagai pertanda yang buruk dari kesudahan umurnya di dunia.Wal iyaadzu billaah.

Salah satu keistimewaan usia 40 tahun tercermin dari sabda Rasulullah SAW, “Seorang hamba muslim apabila usianya mencapai 40 tahun, Allah akan meringankan hisabnya (perhitungan amalnya).” (HR. Ahmad)

Hadits ini menyebutkan bahwa usia 40 tahun merupakan titik awal seseorang memiliki komitmen terhadap penghambaan kepada Allah Ta’ala, sekaligus konsisten terhadap Islam, sehingga Allah Ta’ala pun akan meringankan hisabnya. Inilah keistimewaan orang yang mencapai usia 40 tahun. Akan tetapi, usia 40 tahun merupakan saat di mana orang harus berhati-hati juga. Ibarat waktu, orang yang berumur 40 tahun mungkin sudah masuk waktu senja.

Abdullah bin Abbas mengatakan, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak mantab dan tidak dapat mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.”

Imam Asy-Syafi’i tatkala mencapai usia 40 tahun, beliau berjalan sambil memakai tongkat. Jika ditanya, maka beliau menjawab, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di udara, kecuali telapak kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar. Komitmenku sekarang seperti itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia. Aku juga tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk pikuk dunia, kecuali hal yang menurut syari’at lazim bagiku.”

Kematian Bisa Datang Kapan Saja

Satu perkara yang kita harus senantiasa kita sadari bahwa kematian bisa memanggil kita kapan saja tanpa tanda, tanpa alamat dan tanpa mengira usia. Jika kita beranggapan harus menunggu usia 40 tahun untuk mulai memperbaiki diri, maka rugi dan sia-sia lah hidup kita jika ternyata umur kita tidak panjang.

Maka dari itu, di sisa-sisa usia kita ini, marilah kita mulai berbenah diri, meneguhkan tujuan hidup, meningkatkan daya spiritual, memperbanyak bersyukur, menjaga makan dan tidur, serta menjaga keistiqamahan dan berusaha meningkatkan kualitas dalam beribadah.

Banyak manusia yang tertipu dengan keindahan dunia dan isinya yang bersifat sementara. Mengingati mati bukan berarti kita akan gagal di dunia ini. Akan tetapi dengan mengingati mati kita berharap menjadi insan yang berjaya di dunia dan di akhirat kelak. Janganlah menunggu hingga esok untuk membuat persediaan menghadapi kematian, karena mati boleh datang kapan saja.
Akhirnya, semoga kita bisa memaksimalkan sisa-sisa umur kita ini untuk memperbanyak amal shaleh.

Ya Allah, memasuki usia ke 45 ini berikan hamba kemampuan taubat yang sebenar-benar taubat. Mampu menjadi imam dari keluarga, menjadi panutan dari santri-santri dan para murid hamba serta bermanfaat pada usia yang semakin senja.

Jika kelak meningal, maka tutup hayat kami dengan khusnul khotimah. Amin

Abah Muazar Habibi
Pengasuh Pesantren LENTERAHATI Islamic Boarding School

SALAH KAPRAH MELARANG UCAPAN JANGAN PADA ANAK.

SALAH KAPRAH MELARANG UCAPAN JANGAN PADA ANAK.

Oleh : MA. Muazar Habibi

Sering kali pembicara seminar tentang anak atau parenting menekankan dan berulang-ulang mengemukakan tidak boleh mengucapkan kata JANGAN kepada anak karena itu berkonotasi dan berimplikasi negatif kepada perkembangan anak.

Ya, sebagian orangtua telah “termakan” doktrin itu sehingga hampir dipastikan ketika orangtua pulang dari seminar parenting mencoba untuk mencari padanan kata JANGAN ketika melarang anaknya melalukan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh orangtua atau membahayakan anak atau bahkan perilaku yang dianggap kurang sesuai.

Kemudian justru “membingungkan” anak, apakah orangtuanya tadi melarangnya, menganjurkannya atau bahkan memperbolehkannya karena sulitnya orangtua mencari padanan kata JANGAN ketika melarang anak berbuat sesuatu dan akibatnya justru anak tidak menuruti apa yang dikatakan oleh orangtuanya bukan karena membangkang namun sulit memahami ucapan orangtua.

Seperti contoh, ketika anak tidak mau mandi karena ia lebih happy main game dan tak lepas dari gadgetnya. Kemudian karena orangtua sudah terlanjur percaya dengan tidak boleh mengucapkan JANGAN, ia mencari padanan kata yang dianggap mewakili kata JANGAN. “Nak, tidak boleh ya main HP terus, harus mandi! Kalau tidak mandi ibu akan ambil HPnya?”

Apakah anak usia 4-6 tahun paham dengan kalimat itu? Perkembangan kognitif anak belum sampai ke rana mencerna larangan JANGAN dengan kata TIDAK BOLEH, karena beranggapan bahwa kalau tidak boleh itu sama artinya BOLEH DITUNDA. Dan jangan heran ketika orangtua mengatakan hal ini anak tak segera beranjak untuk bangun dari tempat duduknya lantas melakukan yang diminta oleh orangtuanya, justru anak akan menjawab “Sebentar dulu ma, lagi asyik ini”. Apakah anak yang salah?

Penggunaan kata JANGAN adalah anjuran Allah saat mendidik anak-anak kita, hal ini diajarkan dalam Surat Luqman ayat 13.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَيَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”.

Dalam ayat diatas jelaskan ada dua frase dalam ayat diatas yaitu :

Frase pertama tentang pendidikan atau pelajaran yang diberikan oleh Luqman kepada anaknya. Ayat ini dimaknai bahwa ucapan larangan DENGAN KATA JANGAN, pada frase berikutnya adalah dalam proses saat Luqman melakukan dialog dengan anaknya saat memberikan pelajaran pada anaknya tentang keTauhidan.

وَإِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ
(Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya)

Frase kedua, yaitu ucapan JANGAN yang disampaikan oleh Luqman kepada anaknya saat Lukman memberikan penegasan dalam proses pembelajaran kepada anaknya tentang keesaan Allah Ta’ala.

يٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

(“Hai anakku, JANGANLAH kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)

Secara ilmu Parenting lantas kita bertanya, kenapa Luqman tidak menggunakan kata TIDAK BOLEH tetapi menggunakan kata JANGAN ketika memberikan pelajaran tentang ketahidan kepada putranya.

Hal yang perlu saya sampaikan agar para orangtua dan guru tidak menghilangkan KATA JANGAN saat mendidik anak-anak baik dirumah dan disekolah adalah sebagai berikut:

Pertama, kata JANGAN itu tetap dibutuhkan untuk memberikan penegasan kepada anak pada larangan-larangan yang sifatnya aqidah, tauhid, akhlaq dan yang berhubungan dengan perilaku religius seorang anak. Ketika orangtua melarang anaknya telat sholat, tentu bukan kalimat seperti ini “Nak ayo sana segera sholat, tidak boleh tidak telat ya? Sholat itu harus tepat waktu” apakah anak paham? Bisa jadi paham, bisa jadi terjadi kerancuan pola fikir antara boleh atau tidak boleh. Maka hal ini perlu penegasan dengan kalimat “Anak ayo segera sholat, JANGAN sampai telat sholatnya ya, sholat itu harus tepat waktu”. Maka anak akan paham bahwa itu penegasan yang harus (wajib) dilakukan.

Kedua, Menurut Piaget perkembangan kognitif anak sangatlah berfariatif dimulai dari usia 0 tahun dan ini dipengaruhi oleh konsepsi kemampuan berfikirnya. Untuk komunikasi dengan anak biasanya efektif yang berkenaan dengan aturan dimulai usia 2 tahun karena masa usia ini anak pada tahap preoperasional (umur 2 – 7/8 tahun) : Piaget mengatakan tahap ini antara usia 2 – 7/8 tahun. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Sehingga penggunaan bahasa tidak bisa secara abtrak disampaikan kepada anak, tetapi harus tegas dan dimengerti sehingga anak paham mana larangan yang benar-benar larangan yang berhubungan dengan aqidah, akhlaq (moral), peribadatan atau keagamaan dengan larangan yang sifatnya itu adalah pembiasaan seperti tidur tepat waktu, belajar tepat waktu dan yang sifatnya hubudiah, muamalah atau hubungan dengan manusia.

Untuk yang komunikasi kepada anak yang berhubungan dengan habluminallah yang bersifat larangan maka kata JANGAN akan lebih baik digunakan karena itu memberikan penekakan kepada anak sedangkan ketika kegiatan yang sifatnya hubudiah, muamalah dan habluminnas maka orangtua ketika melarang anaknya bisa menggunakan kata penganti JANGAN, seperti TIDAK BOLEH, BUKAN BEGITU dan sebagainya.

Namun ketika kita berkomunikasi dengan anak-anak yang usianya 7 – 12 tahun dimana seorang anak telah memiliki tahap kognitif operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun). Maka penggunaan kata JANGAN tidak perlu lagi diganti dengan kata sepadan karena anak sudag paham tentang aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret.

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sesuai dengan perkembangan kognitifnya tentu akan berbeda dengan proses belajar . Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Orangtua dan Guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif pada muridnya agar dalam melakukan komunikasi dengan anak bukan malah sibuk mencari kata sepadan penganti JANGAN namun bisa menematkan kapan harus berkata JANGAN kepada anak-anak dan kapan harus menganti kata JANGAN dengan kata sepadan lainnya.

Maka “katakan JANGAN pada anak karena itulah cara Allah memberikan pengajaran kepada anak melalui contoh dari pembelajaran Luqman kepada anaknya.

Semoga bermanfaat.

Abah Muazar Habibi Psikolog
Pengasuh Pesantren Lenterahati Islamic Boading School
081220021219