LENTERAHATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Loading

SEPATU, SANDAL PAKAIAN SANTRI DAN KEBERKAHAN ILMU SANTRI DI PESANTREN.

SEPATU, SANDAL PAKAIAN SANTRI DAN KEBERKAHAN ILMU SANTRI DI PESANTREN.

SEPATU, SANDAL PAKAIAN SANTRI DAN KEBERKAHAN ILMU SANTRI DI PESANTREN.

Datanglah seorang laki-laki kepada seorang lak-laki lainnya pada masa Syekh Abdul Qadir Jaelani. Laki-laki itu mengadukan Syekh Abdul Qadir Jaelani kepada laki-laki yang tak lain adalah salah satu orangtua santri yang diasuh oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Laki-laki itu bercerita kepada sang ayah, begini ayah. Saya melihat anak anda yang diasuh oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani diperlakukan dengan tidak baik, ia seperti kucing?! anak anda makan dari bekas makanan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ia seperti pembantu yang harus membersihkan masjid dan rumah Syekh Abdul Qadir Jaelani, bahkan ia tak seperti seorang murid yang belajar kepada gurunya.

Tanpa berfikir panjang, seorang ayah ini langsung mendatangi Pesantren dimana anaknya di asuh oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani. Kemudian sang ayah tanpa basa-basih dan tabayun terlebih dahulu kemudian menghardik Syekh Abdul Qadir Jaelani; “Anak saya saya titipkan disini untuk mencari ilmu, bukan seperti kucing yang mendapatkan sisa makanan dari anda, bukan pula seperti pembantu yang anda suruh-suruh membersihkan semua yang ada disini”.

Saat ini juga saya bawah pulang anak saya!. Kemudian sang ayah itu mengajak anaknya pulang. Sambil naik keledai, diperjalanan sang ayah bercengkrama dengan sang anak, dan berdiskusi banyak hal. Sang ayah terperangah, ternyata anaknya menguasai 1/2 dari isi Al Qur’an dan menghafalkan berbagai hadist dan ia mampu dengan baik menerangkan semua hal yang ditanyakan oleh ayahnya padahal ia hanya beberapa tahun belajar di sana.

Belum sampai dirumah, sang ayah bergegas membelokkan keledainya kembali ke tempat Syekh Abdul Qadir Jaelani, kemudian sesampai dirumah Syekh Abdul Qadir Jaelani sang ayah menyampaikan “Mohon maaf Syekh Abdul Qadir Jaelani, ternyata apa yang saya dengar dari yang disampaikan orang lain tentang anda salah, anak saya benar-benar telah anda ajarkan dengan baik, ia menguasai ilmu agama dengan sangat baik, perkenankan saya mengembalikan anak saya ke anda untuk dididik kembali disini”

Kemudian dengan senyum sang Syekh Abdul Qadir Jaelani menjawab “Keberkahan ilmu yang ada di anak anda telah hilang, dan ilmu itu telah sirna di dadanya, karena keiklhasan orangtua pada anaknya telah menodai keberkahan ilmu itu”. Betapa terperanjatnya sang ayah, anaknya yang tadi sangat luar biasa, kemudian sekarang kembali seperti saat sebelum ia mendapatkan ilmu dari Syekh Abdul Qadir Jaelani, benar-benar hilang ilmu yang didapatkan selama ini.

Tentu ibroh diatas banyak interprestasinya pada zaman saat ini, zaman pesantren tidaklah seperti dahulu kala semasa Syekh Abdul Qadir Jaelani, pun tuan guru, kiyai, ust tak ada sekaliber Syekh Abdul Qadir Jaelani yang memiliki ilmu agama dan dunia luar biasa dan ia termasuk waliyullah. Namun kita bisa mengambil satu penggal saja hikmah, bahwa keikhlasan orangtua terhadap sebuah proses pembelajaran dipesantren adalah kunci keberkahan ilmu seorang anak.

Konsep ini pada zaman modern dikenal dengan sistem triagonal education of psychology, dimana orangtua, lingkungan dan pendidikan berperan aktif bagaimana membentuk karakter seoarang anak dan tentu aspek psikologi, dimana ada pilar yang tak terlihat hubungan hati antara kedua orangtua dan anak-anaknya, pilar inilah yang sering kali terabaikan. Dimana perasaan seorang anak akan tergantung perasaan kedua orangtuanya, sedih dan gembiranya orang tua sangat mempengaruhi bagaimana perasaan anak walau ia berbeda waktu dan tempat dengan anak-anaknya, sehingga apa yang difirkan negatif akan sama “nyetrum” kesanubari anak-anaknya.

Allah, sesuai dengan prasangka hamaNya, demikianlah salah satu penggalan hadist qudsi bahwa Allah akan sesuai dengan prasangka hambanya termasuk sebagai orangtua, jika orangtua berperasangka tidak baik tentang pendidikan anak-anaknya, padahal  orangtua sudah bersepakat untuk mempercayakan anak-anaknya di sebuah lembaga pendidikan apalagi pesantren, kemudian karena ketidakpuasan dan orangtua hanya mendapatkan informasi sepihak dari anaknya, lantas orangtua sudah berperasangka negatif dengan sistem dan perlakuan kiyai, tuan guru, asatidz dan murobinya dipesantren. Maka pikiran itulah yang akan terjadi kepada anak-anaknya, walaupun sebenarnya itu tak terjadi. Ya ini karena hello efect dari apa yang difikirkan negatif oleh orangtua, kemudian berpengaruh kepada nuansa psikologis anak dan tentu akan meruba hubungan antara anak sebagai santri dengan pesantrennya, dan kemudian menjadi kenyataan.

Tak terkira berapa banyak orangtua sekarang lebih “sibuk” ketika sandal, sepatu dan pakaian serta barang-barang anaknya yang hilang, tertukar dan dipinjam oleh teman dipesantren dari pada berfikir apa yang telah diperoleh anaknya tentang ilmu agama dan pendewasaan serta kemandirian. Orangtua lebih sibuk mengurusi barang-barang anaknya, lupa memberikan suport bagaimana ia harus ikhlas berbagi, ikhlas mandiri dan ikhlas menerima ilmu yang diajarkan dipesantren. Kemudian sang anak ikut terpangaruh, bagaimana ia harus lebih kosentrasi memikirkan barang-barangnya dari pada kosentrasi mendapatkan ilmu yang manfaat.

Tak bisa di pungkiri hidup dipesantren, sebaik apapun sistem pesantren itu karena dipesantren tidak hidup sendiri, bukan hidup di hotel atau dirumah yang hanya barangnya sendiri terjaga dan tidak ada orang lain, namun dipesantren dimanapun berada. Santri hidup dalam kehamonisan bersama, ia berinteraksi bersama dan ia hidup 24 jam dengan berbagai latar belakang keluarga, ekonomi, sosial dan budaya dengan teman dan para asatidznya.

Kita yang tak dipesantren saja, pergi ke masjid kadang kala sandal kita hilang atau tertukar, apalagi santri yang hidup 24 jam dengan banyak orang, tentu sandal, sepatu, pakaian dan barang yang lain bisa jadi terukar dan ada juga yang memang di pinjam tak dikembalikan. Saya tak ingin menggunakan narasi “diambil temannya” karena dipesantren tentu tak ingin ada santri yang sengaja mengambil atau meminjam tanpa tanggung jawab.

Inilah hikmah yang harus kita petik, lebih baik sandal, sepatu, pakaian anak kita hilang dari pada mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang berkah. Sandal, sepatu dan pakaian yang tertukar dan bahkan dipinjam tak kembali, akan menjadi saksi kelak di akhirat bukan hanya untuk ananda yang mencari ilmu tetapi sandal, sepatu dan pakaian itu akan bersaksi bahwa orangtua telah dengan ikhlas mendidik anak-anaknya walau kadang kecewa dengan sandal, sepatu dan barang-barang yang suka tak kembali.

Namun bukan berarti ini lantas membenarkan kejadian-kejadian pinjam meminjam antar santri yang tak bertanggung jawab, pesantren punya tanggung jawab untuk mendidik para santri bertanggung jawab kepada barangnya sendiri, menjaga barang teman-temannya dan tentu mengeleminasi perilaku pinjam tak kembali karena itu bagian dari qosob yang tak diperbolehkan dalam Islam.

Semoga sandal, sepatu dan pakaian hilang dan tak kembali membawa hikmah untuk pendewasaan para santri untuk menjaga barang-barangnya lebih teliti lagi, teman dan kakaknya juga saling menjaga barang yang ada dan pesantren berusaha membuat aturan dan sistem eleminasi qosob (meminjam tanpa izin dan tak bertanggungjawab) yang sering terjadi di pensantren.

Kalau sudah terjadi dan barang itu hilang, ikhlaskan wahai orangtua karena kelak barang itu yang akan menjadi saksi amal baik para orangtua di akhirat kelak dan akan memberikan syafaat akan keberkahan ilmu yang didapatkan para santri di pesantren.

Allahu a’lam bi showab.

Abuya Muazar Habibi
Pengasuh Pesantren Lenterahati Islamic Boarding School

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari LENTERAHATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca