LENTERAHATI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Loading

Arsip untuk November 2019

Membesarkan Anak Yang Kreatif

Membesarkan Anak Yang Kreatif

Oleh : MA. Muazar Habibi

Ibu dan ayah yang ingin membesarkan ‘Michel Angelo’ baru mungkin perlu sedikit menahan diri. Riset baru mengatakan bahwa anak-anak yang orang tuanya benar-benar ‘membiarkan mereka’ akan menjadi lebih kreatif dibandingkan anak-anak yang orang tuanya lebih banyak terlibat dalam proses kreativitas mereka. Hasil temuan tersebut dipresentasikan oleh Dr. Dale Grubb dari Baldwin-Wallace College di Berea, Ohio, dalam pertemuan tahunan American Psychological Society. Para orang tua yang suka mengajari berbagai hal kepada anak-anak mereka, cenderung mempunyai anak-anak yang kurang kreatif, demikian ia menjelaskan. Dan yang perlu digarisbawahi ialah kadang mereka terlalu berlebihan mencoba untuk terlibat dalam proses kreativitas si anak.

Biarkan kreativitas mereka berkembang

Grubb menjelaskan bahwa dalam satu tes mereka memberikan beberapa pertanyaan sederhana, seperti “bagaimana anda dapat menggunakan sepotong kertas?”. Semakin banyak ataupun semakin ‘asing’ jawaban yang diberikan, maka mereka dianggap semakin kreatif.

Tidak mengherankan, orang tua yang lebih kreatif tampaknya mempunyai anak-anak yang lebih kreatif. Namun Grubb mengatakan bahwa mereka masih tidak jelas apakah hal ini terjadi karena faktor genetik atau cara mereka mendidik.

Dengan memusatkan perhatian pada cara orang tua mendidik, para peneliti merekam interaksi antara orang tua dan anak mereka saat sedang bermain. Mereka membuat asumsi bahwa orangtua dengan cara mendidik yang paling mendukung dan ‘memungkinkan’, akan mempunyai anak-anak yang paling kreatif. ” ‘Memungkinkan’ berarti bersikap sangat fokus pada anak, bertanya kepada si anak tentang apa yang ingin ia lakukan, mengapa begini atau begitu serta hal-hal lain yang seperti itu,” Grubb menjelaskan. Tetapi asumsi yang mereka buat ternyata keliru. Gaya mendidik yang ‘memungkinkan’ bukan hanya tidak ada kaitannya dengan tingkat kreativitas tertentu dari anak, akan tetapi justru – meskipun tidak besar – cenderung menyebabkan berkurangnya kreativitas. “Malah gaya ‘memungkinkan’ ini dapat dengan mudah berkembang menjadi apa yang disebut sebagai sikap ‘memaksa’, yang membuat orang tua sering berkata: “Jangan begitu, lakukan seperti ini”, dan tidak memberikan banyak pilihan kepada anaknya,” kata Grubb.

Pesan yang dapat diambil, menurut Grubb, adalah bahwa kalau orangtua menghargai kreativitas si anak dan memberikan dukungan tanpa terlalu mengarahkan dan kalau mereka sendiri memang kreatif, maka mereka mungkin akan mempunyai anak-anak yang lebih kreatif.

Bagaimana hal ini dapat diterapkan ke dalam ruang bermain anak ?

 Pertama-tama, hindari alat-alat permainan yang memaksakan konsep struktur atau membatasi kreativitas si anak. Berikan kepada mereka kertas putih polos, bukan buku mewarnai (dengan gambar-gambar yang telah ditetapkan sebelumnya) dan biarkan mereka menemukan sendiri kemana mereka ingin pergi.

Pilih alat-alat permainan yang bentuknya lebih mudah diubah-ubah (seperti lilin mainan), ketimbang balok-balok yang saling disambung dan hanya dapat membentuk bangunan persegi yang terbatas.

Namun yang paling penting, selalu berikan pujian atas usaha yang telah mereka lakukan. Mereka mungkin saja menggambar sesuatu yang konyol atau tidak masuk akal, namun tetap berikan pujian  karena mereka telah mencoba membuat sesuatu yang bardemikian saran Grubb.

 

Membaca Pikiran Si Kecil

Membaca Pikiran Si Kecil

Oleh : MA Muazar Habibi

Tingkah balita memang menggemaskan. Perilakunya sehari-hari kerap menambah warna kehidupan Anda. Tak jarang kelakuannya membuat Anda tertawa geli. Namun, tahukah Anda bahwa ternyata dalam setiap perilaku balita terkandung makna di dalamnya?

1.Gemar Main Petak Umpet

Balita kesayangan Anda senang sekali main petak umpet. Setiap Anda membuka pintu rumah saat pulang kantor, ia pasti sudah ngumpet dan meminta dicari-cari. Ketika Anda menemukannya, ia pun tertawa kegirangan. Petak umpet pun menjadi kegiatan khusus setiap kali Anda pulang kantor.

Ada manfaat menarik di balik kegemarannya itu. Mark Strauss, PhD, psikolog perkembangan anak dan direktur University of Pittsburgh’s Infant and Toddler Development Center mengungkapkan bahwa permainan petak umpet merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan sosialnya. Balita sangat gembira ketika menyadari bahwa orang yang tidak terlihat dalam pandangannya ternyata tidak menghilang selamanya. Mereka bisa mengambil inisiatif untuk mencari dan menemukan sendiri ‘barang hilang’ tersebut.

Yang Bisa Anda Lakukan:

Anda dapat mengajarkan balita Anda konsep ruang lewat permainan ini. Misalnya, ketika mencarinya ucapkan: “Kevin ada di bawah meja, ya?” atau “Nova ada di belakang lemari nggak?”.

2. Senang Bertanya “Kenapa?”

Sejak ia mulai pandai bicara, kata “mengapa” atau “kenapa” seperti menjadi favoritnya. Misalnya, ketika Anda mengungkapkan bahwa bunga mawar berwarna merah, ia pasti menimpali: “Kenapa merah?” dan Anda pun harus menjelaskan pertanyaannya itu sampai ia puas dengan jawaban Anda.

Perilaku ini menunjukkan bahwa anak Anda perlahan-lahan mulai mengembangkan konsep abstrak di otaknya. Ia penasaran ingin mengetahui arti di balik semua hal. Tak heran bila semua yang dilihatnya akan menimbulkan pertanyaan di kepalanya.

Yang Bisa Anda Lakukan:

Reaksi Anda terhadap semua pertanyaannya tersebut akan mempengaruhi rasa keingintahuannya dan hasratnya terhadap ilmu pengetahuan. Jawablah semua pertanyaannya dengan sebaik-baiknya. Hindari menjawab asal-asalan.

Tunjukkan buku-buku ilmu pengetahuan untuk anak-anak sembari menjawab pertanyaannya. Jika ia punya banyak pertanyaan tentang alam, misalnya, ajak ia jalan-jalan ke kebun binatang untuk menunjukkan bagaimana alam bekerja.

3. Senang ‘Membaca’ Buku Yang Sama Berulang-ulang

Si kecil senang sekali pada satu buku dan akan ‘dibaca’nya berulang-ulang. Tak bosan-bosannya ia meminta Anda untuk membaca buku dan menceritakan adegan yang sama hampir setiap hari.

Mary Hynes-Berry, Ph.D, pengajar pada Erikson Institute for Early Childhood, buku memperkenalkan balita dengan kata-kata baru. Mereka membutuhkan waktu untuk menghubungkan antara gambar dan cerita yang mereka dengar. Maka, balita membutuhkan ‘membaca’ berulang-ulang. Mungkin ketika Anda sudah bosan membacakan buku itu pada si kecil, justru pada saat itu ia sudah mulai memahami isi cerita buku itu.

Yang Dapat Anda Lakukan:

Anda dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan kemampuan berbahasa si kecil. Pasalnya, pada usia ini kemampuan berbahasa sedang berkembang dengan pesat. Pada usia 1,5-2 tahun, si kecil sudah bisa menunjukkan dan menyebutkan nama dari bagian-bagian tubuh. Dan, pada usia yang sama ia mulai bisa menunjukkan gambar dan nama-nama binatang. Tunjukkan pada si kecil buku-buku yang cocok dengan kemampuannya itu.

4. Selalu Minta Digendong

Balita Anda sudah pandai jalan sendiri. Tubuhnya sudah besar dan terlalu berat untuk digendong dalam waktu lama. Namun, ia kerap merengek minta digendong.

Bila si kecil kerap melakukan hal ini, walaupun ia tidak dalam keadaan lelah, bisa berarti ia merasa dirinya tidak aman. Hal ini kerap terjadi pada balita yang baru masuk pendidikan pra sekolah. Sejalan dengan perkembangannya memiliki independensi, balita juga mengalami perasaan takut karena harus berpisah sementara dengan orang tuanya.

Yang Bisa Dilakukan:

Cari waktu untuk menjalin ikatan lebih dalam berdua saja dengan balita Anda. Bacakan buku, bercakap-cakap, atau melakukan permainan lebih lama dari biasanya. Peluk si kecil lebih sering dari biasanya.

Ketika ia meminta digendong, beri pengertian pada si kecil bahwa Anda sedang tak bisa menggendongnya. Namun kemudian tawarkan alternatif lain misalnya menggenggam tangannya, duduk di baby stroller atau mendorong baby stroller yang berisi boneka kesayangannya. Cara ini mengajarkan si kecil bahwa ia sudah besar dan tak perlu lagi digendong seperti bayi.

Sumber: sehatgroup.web.id

 

Melatih Anak dengan Bermain

Melatih Anak dengan Bermain

Oleh : MA Muazar Habibi

PENELITIAN terhadap otak manusia terungkap, berfungsinya otak adalah hasil interaksi genetis dan pengaruh lingkungan. Pada saat anak lahir, terdapat lebih dari 100 miliar sel otak yang siap untuk dikembangkan dan diaktualisasikan. Pada saat itu tingkat perkembangan otak anak mencapai puncak potensi yang tertinggi. Cemerlangnya otak anak, diharapkan akan menghasilkan anak-anak masa depan yang cerdas.

BERMAIN — Bermain merupakan keharus bagi anak-anak usia dini. Sebab dengan bermain anak-anak akan mendapatkan pelajar bagaimana mengekspresikan diri secara bebas. (Sripo/sts)

Proses pengelolaan otak ini sebenarnya sangat menentukan intelegensi dan kepribadian serta kualitas kehidupan yang dialami seseorang. Karena itu, makin banyak otak digunakan, makin banyak jaringan otak terbentuk. Tetapi sebaliknya, jika otak kurang digunakan makin kurang jaringan otak tersebut.
Sejak lahir setiap anak memiliki berbagai potensi yang unik. Untuk dapat mengembangkan potensi tersebut perlu dipupuk sejak dini dalam lingkungan yang kondusif. Menciptakan lingkungan yang kondusif (mendukung) ini dapat mengembangkan potensi anak secara optimal dan menyeluruh.
Pendidikan terhadap anak bisa dimulai sejak dini, pada saat anak masih dalam masa pra-sekolah sampai masa berikutnya. Pendidikan pra-sekolah sangat menentukan keberhasilan anak sebagai siswa dan juga sebagai orang dewasa di masa mendatang. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan pra-sekolah yang berkualitas. Dan pendidik mempunyai tanggung jawab untuk memperkenalkan anak kepada masyarakat di sekitarnya.
Dunia Bermain
Dunia anak adalah dunia bermain. Semua hal menjadi menyenangkan bagi anak. Bermain ayunan, bermain pasir, senang menari, belajar, bernyanyi, mengenal binatang, dan sebagainya. Semua yang dia perbuat dilakukannya dengan gembira. Pada saat bermain ini anak mengembangkan semua aspek dalam dirinya, termasuk rasa percaya diri.
Waktu bermain anak mendapat kesempatan dengan bebas mengekspresikan diri. Anak tidak perlu takut salah, tidak mendapat tekanan untuk berhasil, anak dapat berbuat sesuai kehendaknya dan selalu ingin mencoba kegiatan yang ingin dikuasainya. Oleh karena itu, bermain sangat membantu anak belajar bersosialisasi. Anak yang senang bermain, biasanya lebih sosial dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain.
Melalui bermain, anak dapat mengembangkan bahasanya, anak dapat berfikir dan mencari solusi untuk masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, bermain akan mempengaruhi perkembangan intelektualitasnya. Selain itu anak lebih mengerti apa yang terjadi disekitarnya. Anak dengan mudah mengekspresikan perasaan yang dimilikinya.
Dengan bermain, anak dapat bereksprimen serta secara bebas mengekspresikan dirinya sehingga menjadikan anak lebih kreatif. Bermain dapat membantu anak mengerti lebih dalam mengenai kehidupan sosialnya. Saat bermain anak dapat belajar mengenai peraturan sosial yang berlaku, seperti saling menolong dan bekerja sama.
Suasana Bermain

 

Untuk menciptakan suasana bermain yang menyenangkan sehingga anak dapat bermain sesukanya, pilihlah batasan-batasan yang tepat sehingga tidak menghambat kreavitas anak dalam bermain. Sediakan tempat dan mainan atau peralatan yang menstimulasi anak untuk bermain. Atur tempat bermain dan mainan sedemikian rupa sehingga anak tertarik untuk bermain.

Orangtua hendaknya menyadari, bahwa bermain sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Berikanlah berbagai pengalaman nyata yang dapat memperkaya fantasinya dalam bermain.

Peran Pendidik
Berhasilnya bermain bisa menjadikan suatu pelajaran yang berarti tidak terlepas dari peran tenaga pendidik saat mendampingi anak tersebut bermain. Jadilah pendidik contoh yang baik. Sebab anak belajar bermain dari melihat cara anak atau orang lain.
Tenaga pendidik atau orangtua anak dapat berfantasi. Gunakan imajinasi dan jangan malu-malu untuk ikut bermian. Tetapi perlu diingat, bahwa kegiatan bermain tersebut adalah kreasi anak, jadi jangan mengambil alih imajinasi anak.

Peran tenaga pendidik hanya mengawasi, mengobserbasi dan mengatur kembali mainan yang terpakai. Berikan tanggapan jika anak didik ingin mengajak dalam permainannya. Pendidik dapat memberikan saran dan dorongan untuk memperkaya permainan anak. (cw3)

 

Mau Masuk TK Pun Mesti Psikotes

Mau Masuk TK Pun Mesti Psikotes

OLeh : MA. Muazar Habibi

SAAT penerimaan murid untuk tahun ajaran baru selalu membuat orangtua yang anaknya harus masuk ke tingkat sekolah yang lebih tinggi menjadi sibuk. Mereka ke sana ke mari mencari informasi tentang pembukaan, tes, maupun kapan, dan besarnya uang pangkal yang mesti dibayar.

APALAGI belakangan ini tes masuk yang harus dilalui calon murid baru tidak hanya meliputi tes akademik seperti bahasa dan matematika, tetapi juga tes psikologi atau sering disebut psikotes. Bahkan, beberapa sekolah mensyaratkan tes psikologi sebagai hal wajib, di samping tes akademik.

Di Jakarta, misalnya, tes psikologi tak hanya diberlakukan bagi calon murid baru pada tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), tetapi anak-anak yang hendak masuk taman kanak-kanak (TK) pun ada yang mesti menjalani apa yang disebut sebagai tes psikologi.

Seorang ayah yang memasukkan anaknya ke sebuah TK swasta di bilangan Jakarta Timur bercerita, apa yang disebut tes psikologi itu ternyata berupa perintah bagi para calon murid TK itu untuk membuat puzzle atau menyusun potongan-potongan gambar menjadi sebuah gambar yang utuh.

Menurutnya, hal itu sebenarnya tak bisa disebut sebagai tes psikologi, tetapi lebih merupakan observasi dari pihak sekolah untuk mengetahui setidaknya ketekunan dan kemampuan anak berkonsentrasi. “Saya enggak mengerti mengapa mesti dikatakan tes psikologi, dengan biaya sekitar Rp 50.000. Ini sudah membuat stres orangtua, juga membuat kami harus merogoh kocek lebih dalam,” ujarnya.

Selain itu, sebagian sekolah juga mewajibkan calon murid baru mengikuti tes psikologi yang diadakan di sekolah bersangkutan. Mereka tak mau menerima tes psikologi yang sudah dilakukan si anak di sekolah asalnya. Ini berarti dalam jangka waktu berdekatan, anak harus mengerjakan tes psikologi berkali-kali.

Belum lagi kalau si anak ternyata tidak diterima di sekolah A, misalnya. Jadi, untuk masuk ke sekolah B, si anak mesti melalui tes psikologi lagi. Di samping itu, beban biaya yang harus ditanggung orangtua pun berlipat. Biasanya, di samping uang formulir, sekolah juga membebankan biaya tes psikologi kepada orangtua calon murid baru, yang besarnya bervariasi antara Rp 75.000 sampai Rp 150.000.

SEBERAPA perlu sebenarnya tes psikologi bagi para murid sampai sebagian sekolah mensyaratkan hal itu bagi calon murid barunya? Prof Dr Ana Suhaenah Suparno, guru besar pendidikan Universitas Negeri Jakarta berpendapat, tes psikologi sesungguhnya “hanyalah” alat yang seharusnya dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan potensi anak didik.

Namun, anehnya, belakangan ini tes psikologi-yang lebih cocok disebut sebagai tes intelegensi-justru digunakan sebagai alat seleksi sekolah dalam menerima calon murid baru. “Artinya, si calon murid baru tidak diterima di sekolah itu karena dinyatakan tak lulus tes intelegensinya,” katanya.

Padahal, seharusnya lewat tes intelegensi, sekolah bisa melihat hal-hal yang menjadi potensi maupun petunjuk lain berkaitan dengan kondisi masing-masing murid. “Misalnya pada tes intelegensi itu ditemukan hal-hal luar biasa, seperti calon murid hiperaktif, disleksia, atau autis, berarti diperlukan bantuan guru lain yang punya kompetensi untuk itu. Atau, kalau memang diperlukan, mungkin si anak mesti dibawa orangtua konsultasi dengan psikolog, bahkan menjalani terapi,” tutur mantan Rektor UNJ ini.

Ana juga melihat bahwa penggunaan tes intelegensi sebagai alat seleksi bertentangan dengan program pemerintah untuk wajib belajar sembilan tahun. “Kalau kita sudah berani mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, artinya kewajiban kita sebagai guru dan pendidik untuk memberi pendidikan kepada anak-anak, bukan malah menolak mereka,” katanya.

Sementara Lucia RM Royanto, psikolog pendidikan dan pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berpendapat, tes intelegensi untuk calon murid baru sebenarnya tidaklah mutlak. Menurutnya, tes intelegensi itu biasanya baru dilakukan bila ditemukan ada masalah pada si anak didik, entah karena dia tidak bisa mengikuti pelajaran, sulit berkonsentrasi, atau ada hal lain yang menghambat perkembangannya di sekolah.

“Harus diakui, kata psikotes sendiri sering kali menimbulkan suasana yang menakutkan bagi siswa. Kalau sudah begini, bisa terjadi hal yang tadinya ingin dicapai lewat tes intelegensi justru tidak tercapai karena sudah memberi dampak psikologis yang tidak bagus,” ujar Lucia.

Apalagi, bila tes intelegensi itu diberlakukan pada calon murid baru tingkat TK dan SD. Menurut dia, untuk mengetahui kesiapan anak dalam belajar di sekolah sebenarnya guru bisa melakukan observasi saja. “Tidak perlu tes intelegensi. Di sini cukup dilakukan observasi oleh guru yang bersangkutan. Para guru kan juga punya sense sendiri, kira-kira anak ini bagaimana.”

“Kalau memang ada masalah, misalnya yang esktrem, berdasarkan observasi guru si anak sepertinya terbelakang mental. Maka, guru tinggal berkonsultasi dengan orangtua dan memintanya membawa si anak kepada ahlinya,” kata Lucia.

Hal yang perlu diperhatikan pada anak yang hendak masuk TK dan SD adalah kesiapan si anak untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. “Sekali lagi, kesiapan anak, bukan kepandaian anak dalam membaca, menulis, dan berhitung ya! Kalau tingkat TK seberapa jauh si anak tak lagi terlalu tergantung kepada orangtuanya, untuk SD meliputi kesiapan fisik, mental, sosial, emosi, dan intelegensi,” ujarnya.

KALAU Prof Ana Suhaenah Suparno menyebutkan tes intelegensi digunakan sebagai alat seleksi, Lucia berpendapat bahwa tes intelegensi yang diberlakukan pada sebagian sekolah bisa menjadi tameng untuk menolak anak. “Artinya, tes intelegensi diadakan agar sekolah itu tidak kebobolan, kemasukan anak yang hiperaktif, autis, atau bahkan terbelakang mental,” ujar Lucia.

Alasan sekolah, menurutnya, “sederhana” sebab mereka tak ingin kerepotan mengajari anak yang tidak “seragam” dengan murid lain pada umumnya. “Mengapa tes intelegensi dilakukan pada awal penerimaan murid baru sebab sekolah susah mengeluarkan anak yang sudah telanjur masuk sebagai murid sekolah tersebut,” kata Lucia menambahkan.

Hal ini terutama untuk sekolah-sekolah favorit, di mana peminatnya jauh lebih banyak daripada daya tampung sekolah. Sebagai seleksi awal, dengan tes intelegensi, calon murid bisa langsung terseleksi. Misalnya, dengan cara mensyaratkan hasil tes intelegensi murid 120 lebih atau superior, atau bahkan lebih dari 130 yang berarti amat superior. Sementara nilai tes 90-110 termasuk rata-rata, 111-120 disebut di atas rata-rata.

Pihak sekolah sendiri akan lebih mudah memberi pelajaran pada murid dengan tingkat intelegensi yang relatif sama dibandingkan dengan yang beragam. Bahkan, ada pula sekolah yang tak hanya mewajibkan tes intelegensi saja untuk calon murid baruk, tetapi tes psikologi yang lebih menyeluruh untuk melihat kemampuan analisis, penalaran, dan abstraksi si anak.

Senada dengan Prof Ana, kalaupun sekolah mengadakan tes intelegensi untuk calon murid baru, sebaiknya disesuaikan dengan usia dan dimaksudkan untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin. “Idealnya tiap sekolah mempunyai guru bantu sesuai dengan keperluan masing-masing anak,” kata Lucia.

Dia menambahkan, tes intelegensi untuk masing-masing tingkatan, bahkan bidang sekolah, itu berbeda-beda materinya. Oleh karena itu, biasanya materi tes intelegensi yang dilakukan oleh psikolog juga tergantung pada permintaan atau kebutuhan sekolah masing-masing.

Misalnya, untuk tingkat SLTP dan SLTA termasuk di dalamnya antara lain kemampuan abstraksi, verbal, ketekunan, sikap kerja, dan kemampuan konsentrasi. “Tes intelegensi itu bisa menggambarkan kapasitas umum individu, sementara kemampuan akademik bisa diasah atau dipelajari,” ujar Lucia tentang tes intelegensi yang umumnya berlaku setahun, meski perubahan yang terjadi biasanya tetap pada batasan tertentu.

SEMUA orangtua tentulah berharap anaknya bisa masuk sekolah favorit atau mendapat pendidikan sebaik mungkin. Untuk mampu melewati tes intelegensi yang diwajibkan sebagian sekolah itu, apa yang bisa dipersiapkan anak maupun orangtua?

Menurut Lucia, hasil tes tersebut biasanya amat tergantung pada kondisi individu saat tes berlangsung. Artinya, suasana emosi, kebugaran, dan kesehatan masing-masing individu diusahakan sebaik mungkin sehingga hasil yang dicapai pun bisa maksimal.

“Memang semakin banyak sekolah yang mengadakan tes intelegensi bagi murid-muridnya. Selain untuk mendapatkan murid dengan kriteria yang diharapkan pihak sekolah, mereka juga bisa punya data awal tentang si anak. Kalau suatu ketika si anak bermasalah, sekolah sudah punya catatannya,” tuturnya.

Prof Ana menambahkan, informasi yang diperoleh dari hasil tes bisa membantu guru memberi pelayanan yang paling sesuai dengan masing-masing individu. Di sisi lain, dia merasa prihatin sebab tes semacam itu bisa menjadikan sekolah yang mutunya bagus dan diminati banyak orang akan mendapat murid dengan potensi prima.

“Kalau muridnya saja sudah hasil seleksi, ditambah proses belajar yang bagus, pasti hasilnya juga bagus. Sementara sekolah yang proses belajarnya biasa-biasa saja, dengan murid yang seleksinya tidak ketat, hasilnya tentulah tak sebagus sekolah favorit. Padahal teorinya, kalau inputnya kurang bagus, berarti prosesnya harus dua kali lipat lebih bagus dari biasanya, baru hasilnya sama dengan sekolah dengan input bagus,” tutur Ana.

Bila keadaan semacam itu dibiarkan, Ana khawatir kesenjangan antara sekolah favorit dan sekolah lainnya bisa semakin jauh. “Orang suka bilang kalau pendidikan itu adalah investasi. Maksudnya di sini adalah investasi sumber daya manusia. Tetapi kalau kemudian diartikan sebagai investasi material, maka yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan,” cetusnya prihatin. (ARN/CP)